PENERAPAN PENDEKATAN STIMULUS - RESPON
DALAM PEMBELAJARAN
IPS KELAS V SD NEGERI I PENITI
DENGAN POKOK BAHASAN KERAGAMAN SUKU BANGSA DAN BUDAYA
DI INDONESIA
KECAMATAN PATANI UTARA KABUPATEN HALMAHERA TENGAH
Mashud Nuhu
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Era
reformasi dan desentralisasi sekarang ini, berbagai kritikan dalam dunia
pendidikan bahkan berbagai kelemahan yang menjadi bahan dan sasaran bagi orang
lain untuk menafsirkan kembali tentang adanya perkembangan pendidikan masa
kini. Satu hal yang menjadi sasaran kritik para kelompok kritis adalah kualitas
dan kinerja guru sebagai pengajar yang mengelolah bahan ajar. Persepsi ini
kemudian menjadi bahan kajian para guru untuk meningkatkan kualitasnya. Guru
yang memiliki ikatan profesional dan emosional tidak pernah merasa putus asa
kiranya akan menjadi sebuah masukan yang sangat berarti terhadap kinerja guru
dalam hal pengelolaan kelas, muatan ini kemudian menerobos masuk terhadap
kritikan yang menjadi pemicu untuk melakukan perbaikan kualitas guru.
Guru
dalam melaksanakan tugasnya dan menaati semua aktifitas yang akan dilaksanakan
tidaklah mudah karena membutuhkan banyak waktu untuk mengatur strateginya agar
merancang prioritas programnya mengarah pada sasaran dan tujuan pendidikan yang
hendak dicapai. Tugas dan tanggung jawab guru bukan hanya mendidik dan mengajar
tetapi juga mengembangkan kualitas siswa melalui moralitas dalam kegiatan
pembelajaran. Ukuran kinerja guru terlihat dari rasa tanggung jawabnya
menjalankan amanah, profesi yang diembannya, dan rasa tanggung jawab moral
dipundaknya. Semua itu akan terlihat pada kepatuhan dan loyalitasnya dalam
menjalankan tugas guru di dalam kelas dan tugas pendidik diluar kelas. Sikap ini
disertai pulah rasa tanggung jawabnya mempersiapkan segala perlengkapan
pengajaran sebelum melaksanakan proses pembelajaran.
Selain
itu, guru juga sudah mempertimbangkan metodologi yang akan digunakan, termasuk
alat media pendidikan yang akan dipakai, serta alat penelitian apa yang akan
digunakan di dalam pelaksanaan pemebelajaran hingga pada tingkat evaluasi guna
menentukan sejauh mana tugas seorang guru dalam meningkatkan kompetensinya.
Ketaatan guru dan tugas guru dari hari ke hari, minggu ke minggu, dan tahun ke
tahun terus di tingkatkan. Guru
mempunyai komitmen untuk meningkatkan belajar, tanpa itu guru akan
kerdil ilmu pengetahuan, akan tetapi tertinggal akselerasi zaman yang semakin
tidak menentu. Apalagi pada kondisi saat ini semua serba cepat, serta dinamis,
dan serba kompetetif.
Guru
merupakan sosok terdepan dan posisi sentral di dalam pelaksanaan proses
pembelajaran. Guru memiliki tanggung jawab besar dalam mengelola bahan
pengajaran. Lebih dari itu, guru harus mampu untuk memilih metode yang akan
dipakai dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan.
Dalam konteks demikian, diperlukan pendekatan
pembelajaran yang inovatif dan kreatif, sehingga proses pembelajaran bisa
berlansung aktif, efektif, dan menyenangkan. Siswa tidak hanya diajak untuk belajar
tentang materi secara rasional dan kognitif, tetapi juga diajak untuk belajar
dan berlatih dalam konteks dan situasi
yang sesungguhnya dalam suasana yang dialogis, interaktif, menarik, dan
menyenangkan. Dengan cara demikian, siswa tidak akan terpasung dalam suasana
pembelajaran yang kaku, menonton, dan membosankan
Sebagaimana
penjelasan sebelumnya, dalam penelitian
ini akan difokuskan pada upaya untuk mengatasi masalah-masalah yang diduga
menjadi penyebab rendahnya tingkat kemampuan siswa Kelas V SD Negeri I Peniti,
yaitu kurangnya inofasi dan kreatifitas guru dalam menggunakan pendekatan
pembelajaran sehingga kegiatan pembelajaran IPS berlansung menonton dan
membosankan. Salah satu mendekatan pembelajaran yang diduga mampu mewujudkan
situasi pembelajaran yang kondusif, aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan
adalah pendekatan stimulus-respon.
Dalam
pendekatan ini, guru berusaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan keterampilan masing-masing di dalam konteks nyata dan situasi yang
kompleks. Guru juga memberikan pengalaman kepada siswa berupa stimulus melalui pembelajaran terpadu
dengan menggunakan proses yang saling berkaitan dalam situasi dan konteks
komunikasi alamiah senyatanya.
Dari ilustrasi singkat
di atas, peneliti tertarik untuk merumuskan judul dalam penelitian ini adalah ” Penerapan
Pendekatan Stimulus - Respon Dalam Pembelajaran
Ips Kelas V Sd Negeri I Peniti Kecamatan Patani Utara Kabupaten
Halmahera Tengah Dengan Pokok Pembahasan Keragaman Suku Bangsa Dan Budaya Di Indonesia
”
B. Rumusan Masalah
Permasalahan
dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana
penerapan pendekatan stimulus-respon dalam pembelajaran IPS siswa Kelas V SD
Negeri I Peniti ?
2. Bagaimana
hasil belajar siswa Kelas V SD Negeri I Peneti Kabupaten Halmahera Tengah dalam
pembelajaran IPS melalui penerapan pendekatan Stimulus-Respon.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini yaitu :
1.
Untuk mendeskripsikan bentuk penerapan
pendekatan stimulus-respon dalam pembelajaran
IPS siswa Kelas V SD Negeri I Peniti Kabupaten Halmahera Tengah .
2.
Mengetahui hasil belajar siswa Kelas V
SD Negeri I Peniti Kabupaten Halmahera
Tengah dalam pembelajaran IPS melalui
penerapan pendekatan Stimulus-Respon.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat
yang diharapkan dalam penenltian ini adalah :
1.
Hasil penelitian ini akan dijadikan
acuan Sebagai bahan informasi bagi peneliti-peneliti selanjutnya dalam
mempelajari bentuk penerapan pendekatan Stimulus-Respon dalam pembelajaran IPS
siswa Kelas V SD Negeri I Peniti.
2.
Untuk menambah khasanah dan memperkaya
penelitian ilmiah di Fakultas Ilmu Pendidikan pada Sekolah Tinggi Keguruan dan
Ilmu Pendidikan ( STIKIP KIE RAHA TERNATE )
3.
Sebagai bahan reverensi mengenai
cara-cara penggunaan pendekatan belajar Stimulus-Respon dalam pembelajaran IPS
Siswa Kelas V SD Negeri I Peniti Kabupaten Halmahera Tengah.
4.
Hasil penelitian ini diharapkan akan
dapat memberikan sumbangan pemikiran
kepada para staf pengajar pendidikan Sekolah Dasar Negeri I Peniti
Kabupaten Halmahera Tengah dan Propinsi Maluku Utara pada umumnya.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Teori
Belajar
Teori adalah sejumlah
proposisi yang terintegrasi secara
sintaktik dan yang di gunakan untuk memprediksi dan menjelaskan
peristiwa-peristiwa yang di amati ( Snelbecker, 1974 dalam Dahar, 1988: 5).
Propisisi yang terintegrasi secara sintaktik, artinya, kumpulan propisisi ini
mengikuti aturan-aturan tertentu yang dapat menghubungkan secara logis
propisisi yang satu dengan propisisi lainya dan juga pada data yang di amati.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, proposisi berarti rancangan usulan ( Tim
Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2002: 899 ). Dengan demikian proposisi dalam kaitanya dengan teori,
berarti francangan gagasan untuk memprediksi dan menjelaskan fenomena-fenomena.
Sala satu fenomena itu adalah belajar dan pembelajaran yang terjadi dalam dunia
pendidikan.
Belajar dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku,
akibat interaksi individu dengan lingkungan. Individu dapat dikatakan telah
mengalami proses belajar, meskipun pada dirinya hanya ada perubahan dalam
kecendrungan perilaku (De Cecco & Crawford, 1977 dalam Ali, 2000: 14).
Perubahan perilaku tersebut mencakup pengetahuan, pemahaman, keterampilan,
sikap, dan sebagainya yang dapat maupun tidak dapat diamati . Perilaku yang
dapat diamati disebut penampilan (behavioral performance) sedangkan yang tidak
dapat diamati disebut kecendrungan perilaku (behavioral tendency). Penampilan
yang dimaksud dapat berupa kemampuan menjelaskan, menyebutkan, dan melakukan
sesuatu perbuatan. Terdapat perbedaan yang mendasar antara perilaku hasil
belajar dengan yang terjadi secara kebetulan. Seseorang yang secara kebetulan
dapat melakukan sesuatu, tidak dapat mengulangi perbuatan itu dengan hasil yang
sama. Sedangkan seseorang dapat melakukan sesuatu karena hasil belajar dapat
melakukkannya secara berulang-ulang dengan hasil yang sama. Gagne (1977)
seperti yang dikutip Miarso (2004), berpendapat bahwa belajar merupakan
seperangkat proses yang bersifat internal bagi setiap pribadi (hasil) yang
merupakan hasil transformasi rangsangan yang berasal dari peristiwa eksternal
dilingkungan pribadi yang bersangkutan (kondisi). Agar kondisi eksternal itu
lebih bermakna sebaiknya diorganisasikan dalam urutan peristiwa pembelajaran
(metode atau perlakuan).
Proses belajar dalam konteks pendidikan formal, merupakan
proses yang dialami secara langsung dan aktif oleh pebelajar pada saat
mengikuti suatu kegiatan belajar mengajar yang direncanakan atau disajikan di
sekolah, baik yang terjadi di kelas maupun di luar kelas (Soedijarto, 1993:
94). Proses belajar yang berkulitas dan relevan tidak dapat terjadi dengan
sendirinya, melainkan perlu direncanakan. Belajar merupakan kegiatan aktif
pebelajar dalam membangun makna atau pemahaman, sehingga diperlukan dorongan
kepada pebelajar dalam membangun gagasan (Depdiknas, 2002). Oleh karena itu
diperlukan penciptaan lingkungan yang mendorong prakarsa, motivasi, dan
tanggung jawab pebelajar untuk belajar sepanjang hayat. Pembelajaran yang
melibatkan seluruh indera akan lebih bermakna dibandingkan dengan satu indera
saja. (Dryden, dan Jeannette, 2002: 195). Hal ini akan memunculkan kreativitas
untuk menyelesaikan masalah dengan cara-cara baru dan tidak terpaku pada satu
cara saja.
Proses belajar adalah
fenomena yang kompleks, dimana melibatkan setiap kata, pikiran, tindakan, dan
juga asosiasi. Lozanov (1978), mengatakan bahwa sampai sejauh mana seorang guru
mampu mengubah lingkungan, presentasi, dan rancangan pengajarannya, maka sejauh
itu pula proses belajar mengajar itu berlangsung (DePorter, 2002: 3). Ini
berarti, dalam pembelajaran diharapkan dapat mengarahkan perhatian pebelajar ke
dalam nuansa proses belajar seumur hidup dan tak terlupakan. Hal ini, sesuai
dengan empat pilar pendidikan seumur hidup, seperti yang ditetapkan UNESCO,
yaitu 1) to learn to know (belajar untuk berpengetahuan), 2) to learn to do
(belajar untuk berbuat), 3) to learn to live together (belajar untuk dapat
hidup bersama), dan 4) to learn to be (belajar untuk jati diri) (Sadia, 2006).
Untuk itu diperlukan membangun ikatan emosianal dengan pebelajar, yaitu dengan
menciptakan kesenangan dalam belajar, menjalin hubungan, dan menyingkirkan
ancaman. Hal ini merupakan faktor yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan
proses pembelajaran yang baik. Studi-studi menunjukkan bahwa pebelajar lebih
banyak belajar jika pelajarannya memuaskan, menantang, dan ramah. Dengan
kondisi seperti itu, siswa lebih sering ikut serta dalam kegiatan sukarela yang
berhubungan dengan bahan pelajaran (Walberg, 1997 dalam DePorter, B., 2002:
23). Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang lebih mendalam terhadap
fenomena belajar dan pembelajaran, sehingga dalam implementasinya dapat lebih
efektif dan efesien.
Ada perbedaan yang prinsip antara teori belajar dengan teori
pembelajaran. Teori belajar adalah deskriptif, karena tujuan utamanya memeriksa
proses belajar. Sedangkan teori pembelajaran adalah preskriptif, karena tujuan
utamanya menetapkan metode pembelajaran yang optimal (Bruner dalam Degeng, 1989
dalam Budiningsih, 2005: 11). Teori belajar lebih fokus kepada bagaimana
peserta didik belajar, sehingga berhubungan dengan variabel-variabel yang
menentukan hasil belajar. Dalam teori belajar, kondisi dan metode pembelajaran
merupakan variabel bebas dan hasil pembelajaran sebagai variabel tergantung.
Dengan demikian, dalam pengembangan teori belajar, variabel yang diamati adalah
hasil belajar sebagai efek dari interaksi antara metode dan kondisi.
Menurut
Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus
yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti
pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera.
Sedangkan respon yaitu ineraksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang
juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Dari defenisi ini
maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu
dapat berwujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu
yang tidak dapat diamati.
Dijelaskan
bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya bersifat sementara,
oleh sebab itu dalam kegiatan belajar perserta didik perlu sesering mungkin
diberikanstimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat tetap. Ia
juga mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan
menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan respon
tersebut
B.
Belajar Sebagai Proses Interaksi Antara Stimulus Dan Respon
Belajar sebagai
proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang
dimaksud harus dapat diamati (observable)
dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental
dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor
tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat
diamati. Hamalik, Oemar. (1980;113). Oleh karena itu, kajiannya tentang belajar
disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang
sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat
diamati dan diukur.
Teori
seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak
variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan atau belajar yang
tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini
tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus
dan respon ini dan tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya
penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya. Namun kelebihan
dari teori ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen,
tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan
proses pembentukan atau shapping yaitu membawa siswa menuju atau mencapai
target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi
dan berimajinasi.
Berdasarkan
pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa menurut teori – teori belajar
merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara
stimulus dan respon. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respon
dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak bisa diamati. Faktor lain yang
juga dianggap penting oleh teori – teori
belajar adalah faktor penguatan (reinforcement) penguatan adalah apa saja yang
dapat memperkuat timbulnya respon.
Teori - teori
belajar mempunyai dasar ide bahwa anak harus berperan secara aktif dalam
belajar di kelas, dimana anak atau murid harus mampu mengorganisir bahan yang
dipelajari dengan suatu bentuk akhir. Prosedur ini berbeda dengan “reception learning” atau “expository
teaching”, dimana guru menerangkan semua
bahan atau informasi itu. Pada tingkat permulaan pengajaran hendaknya dapat
diberikan melalui cara-cara yang bermakna, dan makin meningkat kea rah yang
abstrak. Salah satu cara program
pengajaran yang efektif menurut Bruner, ialah dengan mengkoordinasikan mode
penyajian bahan dengan cara dimana anak itu dapat mempelajari bahan itu, yang
sesuai dengan tingkat kemajuan anak. Tingkat-tingkat kemajuan anak dimulai dari
tingkat representasi sensory (enactive) ke representasi concrit (iconic) dan
akhirnya ke tingkat representasi yang abstrak (simbolik). Demikian juga dalam
penyusunan kurikulum dari satu mata pelajaran, harus ditentukan oleh pengertian
yang sangat fundamental bahwa hal itu dapat dicapai berdasarkan prinsip-prinsip
yang memberikan struktur bagi mata pelajaran itu. Maka dalam mengajar, murid
harus mempelajari prinsip-prinsip itu sehingga terbentuklah suatu disiplin
dalam diri mereka. Sebalaiknya, seorang guru juga harus mampu memberian
kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solving, seorang
scientis, historin ataupun ahli matematika. Biarlah murid-murid tersebut
mencari dan menemukan arti bagi diri mereka sendiri sehingga pada akhirnya
memungkinkan mereka utuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang mudah
di mengerti oleh mereka.
a.
Jenis Pengetahuan
Menurut
pendekatan kognitif yang mutakhir, elemen terpenting dalam proses belajar
adalah pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu kepada situasi belajar.
Dengan kata lain apa yang telah kita diketahui akan sangat menentukan apa yang
akan menjadi perhatian, dipersepsi, dipelajari, diingat ataupun dilupakan.
Pengetahuan bukan hanya hasil dari proses belajar sebelumnya, tapi juga akan
membimbing proses belajar berikutnya. Berbagai riset terapan tentang hal ini
telah banyak dilakukan dan makin membuktikan bahwa pengetahuan dasar yang luas
ternyata lebih penting dibanding strategi belajar yang terbaik yang tersedia
sekalipun. Terlebih bila pengetahuan dan wawasan yang luas ini disertai dengan
strategi yang baik tentu akan membawa hasil lebih baik lagi tentunya.
Perspektif
kognitif membagi jenis pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
1.
Pengetahuan Deklaratif, yaitu pengetahuan yang bisa dideklarasikan biasanya
dalam bentuk kata atau singkatnya pengetahuan konseptual.
2.
Pengetahuan Prosedural, yaitu pengetahuan tentang tahapan yang harus
dilakukan misalnya dalam hal pembagian satu bilangan ataupun cara kita
mengemudikan sepeda, singkatnya “pengetahuan bagaimana”.
3.
Pengetahuan Kondisional, adalah pengetahuan dalam hal “kapan dan mengapa”
pengetahuan deklaratif dan prosedural digunakan.
Pengetahuan
deklaratif rentangnya sangat beragam, bisa berupa pengetahuan tentang fakta
(misalnya, bumi berputar mengelingi matahari dalam kurun waktu tertentu),
generalisasi (setiap benda yang di lempar ke angkasa akan jatuh ke bumi karena
adanya gaya gravitasi), pengalaman pribadi (apa yang diajarkan oleh guru sains
secara menyenangkan) atau aturan (untuk melakukan operasi penjumlahan dan
pengurangan pada pecahan maka pembilang harus disamakan terlebih dahulu).
Menyatakan
proses penjumlahan atau pengurangan pada bilangan pecahan menunjukkan
pengetahuan deklaratif, namun bila siswa mampu mengerjakan perhitungan tersebut
maka dia sudah memiliki pengetahuan prosedural. Guru dan siswa yang mampu
menyelesaikan soal melalui rumus tertentu atau menterjemahkan teks bahasa
Inggris adalah contoh kemampuan pengetahuan prosedural lainnya. Seperti halnya
siswa yang mampu berenang dalam satu gaya tertentu, berarti dia sudah menguasai
pengetahuan prosedural hal tersebut, dengan kata lain penguasaan pengetahuan
ini juga dicirikan oleh praktek yang dilakukan. Sedangkan pengetahuan
kondisional adalah kemampuan untuk dapat mengaplikasikan kedua jenis
pengetahuan di atas. Dalam menyelesaikan persoalan perhitungan kimia misalnya,
siswa harus dapat mengidentifikasi terlebih dahulu persamaan apa yang perlu
dipakai (pengetahuan deklaratif) sebelum melakukan proses perhitungan
(pengetahuan prosedural). Pengetahuan kondisional ini jadinya merupakan hal
yang penting dimiliki siswa, karena menentukan penggunaan konsep dan prosedur
yang tepat. Terkadang siswa mengetahui fakta dan dapat melakukan satu prosedur
pemecahan masalah tertentu, namun sayangnya mengaplikasikannya pada waktu dan
tempat yang kurang tepat.
Hal yang sangat
penting jadinya untuk mengidentifikasi jenis pengetahuan ini bagi guru ketika
mengajar. Mempelajari informasi tentang pokok bahasan tertentu tidak selalu
menyebabkan siswa akan menggunakan informasi tersebut. Tidak juga latihan
menyelesaikan banyak soal pada topik bahasan tertentu, akan membantu mereka
memahami satu prinsip lebih mendalam. Mengetahui sesuatu topik, mengetahui
prosedural penyelesaian masalah serta tahu kapan dan mengapa menggunakan
pengetahuan tersebut adalah hasil belajar yang berbeda-beda, dan tentu saja ini
perlu diajarkan dengan cara yang berbeda pula.
C.
Azas Belajar Yang Utama
Azas belajar
yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang
disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh
gerakan yang sama Nasution, S. (1995;289). Hubungan stimulus dan respon untuk
menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir
yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang
dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar
tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara
stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta
didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan
respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie (Nasution, S. 1995;213) juga
percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam
proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah
tingkah laku seseorang.
Saran utama
dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara
tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam
mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak.
Munadi, (2008; 18)..
D.
Konsep Belajar Stimulus - Respos
Konsep-konsep
tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Hal ini
kemudian mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Hubungan antara
stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang
kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Sardiman, (2007;130). Menurutnya
respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus
yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan
mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki
konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya
mempengaruhi munculnya perilaku, Sardiman, dkk. (2001;164). Oleh karena itu
dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan
antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin
dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut
juga merupakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan
tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang
digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Belajar merupakan komponen
ilmu pendidikan yang berkenaan dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik
yang bersifat eksplisit maupun implisit (tersembunyi). Untuk menangkap isi dan
pesan belajar, maka dalam belajar tersebut individu menggunakan kemampuan pada
ranah-ranah Kognitif yaitu kemampuan yang berkenaan dengan pengetahuan,
penalaran atau pikiran terdiri dari kategori pengetahuan, pemahaman, penerapan,
analisis, sintesis dan evaluasi. Afektif yaitu kemampuan yang mengutamakan
perasaan, emosi, dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terdiri
dari kategori penerimaan, partisipasi, penilaian sikap, organisasi dan
pembentukan pola hidup. Sikomotorik yaitu kemepuan yang mengutamakan
keterampilan jasmani terdiri dari persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing,
gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan dan kreativitas.
Menurut Gagne (1970),
Belajar merupakan kegiatan yang kompleks, dan hasil belajar berupa kapabilitas,
timbulnya kapabilitas disebab oleh stimulasi yang berasal dari lingkungan dan
proses kognitif yang dilakukan oleh pelajar. Belajar terdiri dari tiga komponen
penting yakni kondisi eksternal yaitu stimulus dari lingkungan dari acara
belajar, kondisi internal yang menggambarkan keadaan internal dan proses
kognitif siswa, dan hasil belajar yang menggambarkan informasi verbal,
keterampilan intelek, keterampilan motorik, sikap, dan siasat kognitif. Robert M. Gagne mengemukakan
delapan tipe belajar yang membentuk suatu hirarki dari paling sederhana sampai
paling kompleks yakni : belajar tanda-tanda atau isyarat (Signal Learning) yang
menimbulkan perasaan tertentu, mengambil sikap tertentu,yang dapat menimbulkan
perasaan sedih atau senang, belajar
hubungan stimulus-respons (Stimulus Response-Learning)dimana respon bersifat
spesifik, tidak umum dan kabur, belajar
menguasai rantai atau rangkaian hal (Chaining Learning) mengandung asosiasi
yang kebanyakan berkaitan dengan keterampilan motorik, belajar hubungan verbal atau asosiasi verbal
(Verbal Association) bersifat asosiatif tingkat tinggi tetapi fungsi nalarlah
yang menentukan, belajar mebedakan atau
diskriminasi (Discrimination Learning) yang menghasilkan kemampuan
membeda-bedakan berbagai gejala. , belajar konsep-konsep (Concept Learning)
yaitu corak belajar yang menentukan ciri-ciri yang khas yang ada dan memberikan
sifat tertentu pula pada berbagai objek. belajar aturan atau hukum-hukum (Rule
Learning) dengan cara mengumpulkan sejumlah sifat kejadian yang kemudian dalam
macam-macam aturan, belajar memecahkan masalah (Problem Solving) menggunakan
aturan-aturan yang ada disertai proses analysis dan penyimpulan.
E. Hasil
Belajar
Hasil belajar yang sering disebut dengan istilah
"scholastic achievement" atau "academic achievement" adalah
seluruh efisiensi dan hasil yang dicapai melalui proses belajar mengajar di
sekolah yang dinyatakan dengan angka-angka atau nilai-nilai berdasarkan tes
hasil Belajar (Briggs, 1979:147) . Menurut Gagne dan Driscoll (1988:36) hasil
belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa sebagai akibat perbuatan
belajar dan dapat diamati melalui penampilan siswa (learner 's performance). Gagne
dan Briggs (1979:52) menyatakan bahwa hasil belajar merupakan kemampuan
internal (capability) yang meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
telah menjadi milik pribadi seseorang dan memungkinkan orang itu melakukan
sesuatu. Dick dan Reiser (1989:11)mengemukakan bahwa hasil belajar adalah
kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa sebagai hasil kegiatan pembelajaran,
yang terdiri dari empat jenis, yaitu: pengetahuan, keterampilan intelektual,
keterampilan motor dan sikap. Sedangkan Bloom, et.al (1966:7) membedakan hasil
belajar menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif (pengetahuan), ranah afektif
(sikap), dan ranah psikomotorik (keterampilan motor). Setiap ranah
diklasifikasikan lagi dalam beberapa tingkat atau tingkat kemampuan yang harus
dicapai (level of competence). Untuk ranah "pengetahuan" mulai dari
tingkat yang paling ringan yaitu; mengingat penilaian (evaluation). Ranah sikap
mulai dari menangkap / merespon pasif, bereaksi dengan sukarela / merespon
aktif, mengapresiasi, menghayati / internalisasi, sampai akhirnya menjadi
karakter atau jiwa di alam dirinya (life style)
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan kelas tersebut merupakan
penelitian kualitatif, meskipun data yang dikumpulkan bisa saja bersifat
kuantitatif, di mana uraiannya bersifat deskriptif dalam bentuk kata-kata. Lebih tepatnya,
rancangan penelitian seperti itu dapat disebut penelitian deskriptif yang
berorientasi pada pemecahan masalah, karena sesuai dengan aplikasi tugas guru
dalam memecahkan masalah pembelajaran atau dalam upaya meningkatkan mutu
pembelajaran (Tika, 2005 : 4)
Penelitian ini dilaksanakan dalam bentuk
tindakan siklus di dalam kelas, yaitu pra tindakan, siklus I. Hasil refleksi
pada pra tindakan digunakan sebagai acuan untuk rencana tindak lanjut pada
siklus I. Hasil refleksi pada pra tindkan digunakan sebagai acuan untuk rencana
tindak lanjut pada siklus I. Pada siklus I penelitian ini terdapat beberapa
tahapan, yaitu tahap perencanaan tindakan, tahap pelaksanaan / implementasi
tindakan, tahap onservasi, dan tahap refleksi.
Pendekatan yang dilakukan oleh peneliti dalam
penelitian ini dengan menggunakan pendekatan kualitatif, sebab dalam melakukan
tindakan kepada subyek penelitian, yang sangat diutamakan adalah mengungkap
makna, yakni makna dan proses pembelajaran sebagai upaya meningkatkan motivasi,
kegairahan dan prestasi belajar melalui tindakan yang dilakukan, dengan
ciri-ciri pendekatan yaitu: menggunakan latar alamiah, bersifat deskriptif,
lebih mementingkan proses daripada hasil, induktif, dan makna merupakan hal
yang esensial.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan individu yang menjadi subjek penelitian
(Arikunto 1993: 109). Sedang menurut
Subagyo, (1996: 22) populasi adalah totalita semua nilai yang mungkin,
hasil penghitungan ataupun pengukuran, kuantitatif maupun kualitas mengenai karakteristik
tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin
dipelajari sifat-sifatnya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
siswa SD kelas V IPS Negeri 1 Peniti berdasarkan defenisi di atas, maka populasi yang diambil
atau dijadikan penelitian ini adalah siswa Kelas V SD Negeri Peniti dengan jumlah 24 siswa, terdiri dari Kelas A1 IPS berjumlah 12 siswa dan Kelas A2 IPS
berjumlah 12 siswa. Alasan untuk mengambil secara keseluruhan karena mengingat
jumlah siswa mencukupi standar penarikan sampel sebagaimana tertera dalam tabel
di bawah ini :
2. Sampel
Sampel
adalah bagian dari populasi yang mewakili karakteristik responden (Arikunto,
1993:104). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 100% dari
jumlah siswa Kelas V IPS karena untuk mata pelajaran IPS Kelas V hanya dibatasi
pada Kelas V IPS. Seperti pendapat bahwa apabila subjek penelitian kurang dari
100 siswa, lebih baik diambil semua sehingga penelitian ini merupakan
penelitian populasi. Selanjutnya, jika subjeknya besar dapat diambil antara 10%
- 15% atau 20% - 25% atau lebih (Arikunto, 1995:107).
C.Tempat
dan Waktu Penelitian
1.
Tempat Penelitian
Tempat penelitian ini di laksanakan di SD Negeri I Peniti Desa Peniti
Kecamatan Patani Utara Kabupaten Halmahera Tengah Propinsi Maluku Utara. Hal ini peneliti
lakukan dengan pertimbangan sebagai anak daerah di lokasi penelitian sehingga
mempermuda peneliti untuk memperoleh data informasi dalam pelaksanaan
penelitian yang di maksud.
2.
Waktu Penelitian
Penelitian ini lakukan di SD Negeri I Peniiti pada semester Genap 2012
D.
Tehnik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data dan informasi yan falid yang bersentuhan
langsung dengan penelitian ini, maka penulis menggunakan beberapa tehnik
pengumpulan data dan informasi sebagai berikut yakni :
1.
Observasi
Pengumpulan data dan informasi dengan mengunakan pengamatan secara
lengsung atau penginderaan lansung terhadap suatu benda, kondisi, situasi atau
perilaku.
2.
Wawancara
Pengumpulan data melalui proses wawancara secara langsung dengan
sumber informasi secara lisan dan tuliisan sehingga mendapatkan jawaban-jawaban
yang sesuai dengan masalah-masalah yang di teliti dengan metode Tanya jawab
antara peneliti dan sumber informasi.
3. Dokumentasi
Untuk menguatkan data dan informasi peneliti yang berhubungan dengan
masalah yang di teliti oleh penulis yang di kuatkan dengan dokumentasi dalam
rangkah untuk mengetahui tentang subjek dan objek yang akan teliti.
4. Pengukuran Test Hasil Belajar
Pengukuran test hasil belajar di lakukan dengan tujuan untuk
mengetahui kemampuan siswa dengan melihat Nilai yang di peroleh oleh siswa.
Test tersebut juga sebagai sala satu rangkaian kegiatan dalam penerapan
pembelajaran dengan mengguinakan pendekatan stimulus-respon.
5. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer yang di maksud adalah sumber data
yang di dapat secara langsung dari sumber informasi yang di berikan kepada
peniliiti. Data tersebut berupa jawaban-jawaban dari sumber informasi atas
pertanyaan – pertanyaan yang di ajukan oleh penulis dengan menggunakan metode
wawancara secara langsung kepada sumber informasi.
b. Data Sekunder.
Data sekunder adalah data yang di peroleh dari
SD Negeri Peniti Kecamatan Patani Utara Kabupaten Halmahera Tengah berupa data
secara tertulis atau dokumen-dokumen, dan laporan-laporan pertanggung jawaban
program-program yang dirancangkan oleh guru-guru SD Negeri I Peniti Kecamatan
Patani Utara Kabupaten Halmahera Tengah.
6. 6.
Sumber
Data Primer
Sumber data yang di maksud disini adalah Kepala Sekolah dan Sekertaris Kepala Sekolah, Kepala bagian Kesiswaan, dan Guru Kelas Mata
Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial ( IPS ) SD Negeri I, Peniti Kecamatan Patani
Utara Kabupaten Halmahera Tengah.
7. Tahapan Penelitian
dalam penelitian kualitatif ada empat tahapan yang di lakukan oleh
peneliti yaitu ; tahap pra lapangan, tahap analisis data dan pelaporan data.
a. Tahap Pra Lapangan
Pada tahap ini harus dilakukan peniliti adalah
:
1. Menyusun rancangan penelitian menurut Lexy
Meleong di sebut dengan usulan penelitian.
2. Memilih lapangan.
3. Mengurus perizinan.
4. Menjajaki dan menilai keadaan lapangan.
5. Memilih dan memanfaatkan informasi.
6. Menyiapkan perlengkapan penelitian.
b. Tahap Pekerjaan Lapangan
Pada tahap pekerjaan lapangan ini ada tiga
langka yang harus dilakukan oleh peneliti yaitu :
1. Memahami latar penelitian dan persiapan diri.
2. Memasuki lapangan.
3. Berperan serta sambil mengumpulkan data.
Langkah – langkah penelitian kelas pada model spiral siklus, pada
model ini terdapat empat tahapan yang terdiri dari perencanaan ( planning ), pelaksanaan ( acting ),
pengamatan ( observing ), refleksi ( reflecting ).
c. Siklus I
1. Disiapkan
a. Materi Pembelajaran
Materi
pelajaran dari buku penunjang dan LKS. Selain itu juga peneliti memberikan
materi Keragaman Suku Bangsa dan Budaya
di Indonesia pelajaran yang berkaitan dengan materi IPS dengan menggunakan
pendekataan stimulus-respon.
b. Soal-Soal Evaluasi
Soal-soal
evaluasi merupakan lembar kerja siswa yang digunakan untuk mengukur kemampuan
siswa sesuai tugas yang tercantum secara lisan maupun tulisan. Hasil dari tes
tersebut kemudian dianalisis dan dievaluasi. Berdasarkan analisis hasil
evaluasi dapat diketahui ketentuan belajar siswa baik secara individu maupun
klasikal.
c. Intrumen Penelitian
Intrumen
penelitian adalah lembar observasi dan angket, intrumen penelitian berupa
pedoman observasi dan wawancara yang di gunakan untuk proses pembelajaran yang tela
di lakukan.
2. Pelaksanaan ( sesuai RPP )
3. Pengamatan
Peneliti
melakukan pengamatan terhadap kegiatan belajar mengajar yang di lakukan selama proses pembelajaran
Ilmu Pengetahuan Sosial ( IPS ) di kelas.
4. Refleksi
Menganalisa
dan mengevaluasi hasil dari proses pembelajaran yang telah di lakukan
permasalahan yang muncul pada pembelajaran siklus I kemudia di identifikasi dan
di cari penyelesainya untuk di jadikan acuan pada tahap perencanaan siklus II.
B.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data digunakan untuk
mengetahui penggunaan pendekatan penerapan pendekatan stimulus-respon dalam
pembelajaran IPS siswa Kelas V SD Negeri
1 Peniti Kecamatan Patani Utara Kabupaten Halmahera Tengah. Setelah data
dikumpulkan, maka teknik yang dipakai dalam menganalisis data tersebut adalah
teknik deskriptif kuantitatif dengan menggunakan rumus presentase sebagai
berkut:
F
P =
X 100 %
N
Keterangan :
P = tingkat presentase
F = frekuensi yang diobservasi
N = frekuensi yang diharapkan
100
% = bilangan tetap
Selain
terjadi peningkatan persentase siswa yang tuntas belajar, juga harus
memenuhi kriteria ketuntasan belajar
secara klasikal yaitu ≥ 70%. Keberhasilan proses ditentukan dengan menggunakan
lembar observasi. Analisis data hasil
observasi menggunakan analisis persentase. Skor yang diperoleh masing-masing
indikator dijumlahkan dan hasilnya disebut jumlah skor. Selanjutnya dihitung
persentase nilai rata-rata dengan cara membagi jumlah skor dengan skor maksimal
yang dikalikan 100% yaitu :
Persentase terendah adalah 0%, dan persentase
tertinggi adalah 100%. Pada pembelajaran
ini terdapat 5 kriteria penilaian yaitu: sangat baik, baik, cukup, kurang,
sangat kurang. Sehingga kriteria penilaian ditentukan sebagai berikut:
a.
Tabel 3.1
Skala interval tentang Penerapan Pendekatan Stimulus-Respon dalam
Pembelajaran IPS Siswa Kelas V SD Negeri I Peniti
NO
|
KELAS INTERVAL
|
PREDIKAT
|
1
|
0 – 20 %
|
Sangat kurang
|
2
|
21 – 40 %
|
Kurang
|
3
|
41 – 60 %
|
Cukup
|
4
|
61 – 80 %
|
Baik
|
5
|
81 – 100 %
|
Sangat baik
|
b. Reduksi
Data
Reduksi data adalah merangkum segala
data dan informasi yang di dapat dari sumber informasi yang di anggap menyentu
dengan masalah-masalah yang di teliti
c. Penyajian
Data
Setelah data di reduksi, langkah
selanjutnya adalah menyajikan data. Penyajian data di lakukan dalam bentuk
uraian singkat, bagan, hubungan antar katagori dan sejenisnya. Dengan penyajian
data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja
selanjutnya berdasarkan apa yang telah di pahami tersebut.
d. Penarikan
Kesimpulan
Kesimpulan merupakan peryataan singkat
jelas dan sistematis dari keseluruhan hasil analisis dan pembahasan serta
pengetesan hipotesis yang di ajukan dalam penelitian . dari konsep ini peneliti
dapat menganalisa dan menguji kebenaran vaiditas data yang ada dengan kalimat
yang singkat, padat dan muda di pahami.
DAFTAR
PUSTAK
Kusuma,
S.Y. 2003. Modul Metode, Pendekatan Dan Model Pembelajaran IPS. Universitas Pendidikan
Indonesia. Bandung.
Mulyasa,
E. 2006. Menjadi Guru Profesional
Menciptakan Pembelajaran Kreatif Dan Menyenangkan. PT. Remaja Rosdakarya.
Bandung
Sardiman
N. dkk. 2001. Interaksi dan Motivasi
Belajar-Mengajar. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Arikunto,
S. dkk. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta
Bumi Aksara
Depdikbud. 1996/1997. Media Dalam Proses Pembelajaran I. Jakarta,
Direktorat Pendidikan Dasar Dan Menengah
Syah,
M. 2007. Psikologi Belajar. Rajawali
Pers. Bandung
Munadi,
Yudhi. 2008. Media Pembelajaran. Jakarta.
Nasution,
S. 1995. Didakti Azas-Azas Mengajar. Jakarta,
Bumu Aksara.
Hamalik,
Oemar. 1980. Media Pendidikan. Bandung.
Sudjana,
N. 2004. Penelitian Dan Penilaian
Pendidikan. Bandung. Sinar Baru Algesinto
Sardiman,
A.M. 2007. Interaksi Belajar Mengajar. Radja
Grafindo Persada. Jakarta
Sumatmadja,
N. 1980. Metodologi Pengajaran IPS. Penerbit
Alumni. Bandung
Toha,
C. 2003. Tekni Evaluasi Pendidikan. Raja
Grafindo Persada. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar