Sabtu, 05 Mei 2012

Kebangkitan Islam dan Persamaan Hak antar Warga Negara

Kebangkitan Islam merupakan wacana yang suram dalam pemikiran Islam kontemporer. Fenomena ini tidak sepenuhnya tampak jelas, tetapi sebaliknya tidak pula dapat dikatakan tidak jelas. Hal tersebut barangkali disebabkan oleh kesenjangan ijtihad-ijtihad fikih. Mungkin pula karena bayang-bayang sejarah sejak Perang Salib masih mendominasi pandangan sebagian kalangan hingga kini, atau karena aktivis-aktivis yang terlibat dalam persoalan ini pada umumnya adalah para da'i, bukan para politisi atau pakar hukum. Apalagi sebagian dari mereka menolak simbol-simbol fenomena Islam di zaman sekarang. Mereka adalah orang-orang yang berada pada tingkat menengah, bukan termasuk keluarga terkemuka atau terbelakang.
Sementara itu, problem metodologis yang esensial membutuhkan peneguhan sebelum memunculkan persoalan kebangkitan Islam, yakni masalah hak antar warga negara. Itulah sebabnya, struktur atau unsur-unsur kebangkitan juga membutuhkan batasan-batasan agar kita mengetahui pandangan-pandangan yang harus dipedomani dan ukuran yang harus digunakan untuk menilai pandangan tersebut. Di sisi lain, kita harus mengakui bahwa seorang peneliti menghadapi berbagai kesulitan dalam menjelaskan fenomena pemikiran Islam secara objektif. Artinya, ketika kita mencoba mengungkapkan kondisi fenomena Islam dari perspektif persamaan hak antar warga negara, kita secara metodologis menghadapinya dengan dua pertanyaan mendasar, yakni "siapa" dan "apa."
Kebangkitan Islam: "Siapa" dan "Apa"?
Meski struktur fenomena keislaman atau unsur-unsurnya bukan topik studi ini, namun pembatasan struktur tersebut akan membantu dalam perumusan pembahasan. Begitu pula sumber yang dirujuk untuk keperluan studi ini dan merumuskan usulan-usulan adalah sangat penting, apalagi dalam wacana yang mengandung variasi pemikiran yang amat beragam mengenai kebangkitan Islam.
Variasi pemecahan permasalahan kebangkitan Islam selalu mempersoalkan berbagai kelompok atau sempalannya tanpa sikap kritis terhadap fakta bahwa tidak semua kelompok ini menempati posisi signifikan dalam kebangkitan. Anggapan bahwa semua kelompok itu signifikan mungkin disebabkan oleh rumusan yang kurang tepat mengenai kebangkitan, yakni mengasumsikan kebangkitan sebagai kemampuan suatu kelompok untuk mengadakan pergerakan.
Penulis akan mengungkapkan secara singkat mengenai konsep dasar dari masalah yang kita perbincangkan. Menurut penulis, ada empat kategori kelompok dalam Islam.
Pertama, kelompok-kelompok terorganisir dan berpolitik. Kelompok-kelompok ini direpresentasikan oleh al-Ikhwan al-Muslimun (Mesir), al-Jihad wa at-Tahrir al-Islami, al-Jabhah al-Islamiyah al-Qaumiyah (Sudan), al-Ittijah al-Islami (Tunisia), dan al-Hizbut at-Tahrir al-Islami. Gerakan sejenis yang terdapat di luar Dunia Arab misalnya eksperimen di Iran (oleh kaum muslim Syi'i) dan program Jami'at Islami di India.
Kedua, kelompok-kelompok terorganisasi, tetapi tidak berpolitik. Kelompok-kelompok ini direpresentasikan oleh mayoritas kaum sufi dan Jamaah Tablig di India. Kelompok-kelompok ini mengalami perkembangan kegiatan hingga mencapai Dunia Arab pada tahun-tahun terakhir ini. Selain itu, para pengikut kelompok salaf juga termasuk dalam kategori ini. Mereka menekankan tauhid dan memerangi bid'ah. Dan yang terakhir adalah para pendukung sunnah Nabi Saw. yang banyak bermunculan di Mesir.
Ketiga, kelompok bebas yang tidak berafiliasi pada suatu organisasi, tetapi memainkan peran aktif dalam membentuk intelektualitas Islam dewasa ini. Misalnya: Syekh Ali ath-Thantawi, Syekh M. Mutawalli asy-Sya'rawi, Syekh Abdul Hamid Kisyik, Syekh Ahmad al-Makhlawi, dan Syekh Dr. Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi, Guru Besar Fakultas Syari'ah di Damaskus yang sebagian karyanya tersebar di kalangan agamawan Mesir, meskipun tokoh ini kurang dikenal masyarakat umum.
Keempat, kelompok-kelompok yang tidak terorganisasi dan tidak berpolitik. Kelompok-kelompok ini direpresentasikan oleh umat Islam yang sedang dalam proses pertumbuhan keimanan. Akhir-akhir ini mereka memenuhi masjid-masjid serta melaksanakan ibadah 'umrah dan haji, sedangkan kaum wanitanya mengenakan jilbab secara sukarela. Lapisan ini berkembang cepat dan mengarahkan dirinya secara esensial. Mereka tidak mempunyai sistem apa pun, baik dalam pemahaman ataupun eksperimen keberagamaan. Akan tetapi, mereka meletakkan seluruh aspek kehidupan di bawah pedoman Islam. Memang harus diakui, banyak jalan menuju keridhaan Allah Swt.
Penulis memandang bahwa kelompok yang disebut terakhir merupakan fondasi real bagi kebangkitan Islam yang tidak direkayasa, apalagi mereka merupakan sumber pijakan bagi kelompok-kelompok lain, baik yang moderat dan ekstrem, maupun yang a-politis.
Berdasarkan konsep ini, maka tidak cukup mencari solusi ideal dan komprehensif mengenai masalah persamaan hak antar warga negara hanya dengan menganalisis berbagai kelompok dan aliran kebangkitan Islam. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah memahami psikomassa dan pengaruhnya.
Hal yang terkait dengan pertanyaan "apa" yang disodorkan di awal tulisan adalah kelompok yang pernah bereaksi disebabkan kesenjangan pemikiran dengan aliran-aliran atau kelompok-kelompok lain. Bukti paling jelas dari bentuk-bentuk yang terorganisasi itu adalah al-Ikhwan al-Muslimun, kelompok Islam yang terbesar pada zaman sekarang dengan catatan perjalanannya yang dinamis. Penulis pikir, permasalahan penting ini membutuhkan pembahasan yang lebih mendetil, apalagi persoalan ini akan merangsang dialog terhadapnya.
Hasan al-Banna: Persamaan Hak Penuh
Dalam berbagai tulisan Hasan al-Banna, dapat ditarik pandangan yang jelas tentang persamaan hak antara kaum muslimin dan nonmuslim. Tokoh kharismatis pendiri al-Ikhwan al-Muslimun ini membahasnya dalam tulisan Nahwan Nuur (Menuju Cahaya) yang pada dasarnya ditujukan pada penguasa dan pejabat tinggi Mesir selama kurang lebih setengah abad. Karya itu berjudul Al-Islam Yahmiil 'Aqalliyyaati wa Yashuunu Huquuqal Ajaanib (Islam Menjaga Kelompok Minoritas dan Memelihara Hak-hak Orang Lain). Dalam buku itu dinyatakan, "Islam menyucikan persatuan manusia secara universal... kemudian mensucikan persatuan agama secara universal pula ketika terjadi fanatisme. Islam mengharuskan para pemeluknya untuk mengimani seluruh agama samawi." Kemudian Hasan al-Banna menegaskan, "Inilah Islam yang dibangun di atas sikap moderat dan kesadaran tinggi, tidak mungkin diikuti oleh pemecah belah persatuan yang terpadu ini. Namun sebaliknya, kesucian agama yang mampu mempersatukan manusia ini terkadang dijadikan alat legitimasi kepentingan tertentu".1
Dalam tulisannya yang bertajuk Musykilaatunaa fi Dhau'in-Nizhaam il-Islaami (Problematika Kita dalam Perspektif Sistem Islam), Hasan al-Banna menyatakan dengan jelas, "Minoritas nonmuslim yang menjadi warga negara ini diajari kesempurnaan ilmu tentang bagaimana mencapai ketenangan hidup, keamanan, keadilan, dan persamaan hak secara penuh dalam menjalankan seluruh ajaran agamanya."
Dengan nada menyatukan, Hasan al-Banna menambahkan, "Sejarah panjang yang membentangkan hubungan baik dan mulia antara warga negara muslim dan nonmuslim, cukuplah bagi kita sebagai bekal. Kita perlu mencatat prestasi para warga negara yang mulia itu karena mereka menjunjung tinggi makna-makna ini pada setiap kesempatan, menjadikan Islam sebagai makna nasionalismenya, meskipun hukum-hukum dan ajaran-ajarannya tidak berasal dari akidah mereka (akidah non-Islam, --peny.) sendiri."2
Dalam rumusannya mengenai prinsip-prinsip dasar sistem sosial islami sebagaimana dipedomani al-Ikhwan al-Muslimun, Hasan al-Banna menawarkan sebelas prinsip dalam tulisannya Bainal-Amsi wal-Yaum (Antara Kemarin dan Hari Ini). Salah satu prinsip tersebut adalah "Mengumandangkan persaudaraan antar manusia, kebangkitan pria dan wanita secara bersama, solidaritas dan persamaan hak antara pria dan wanita, serta merumuskan tugas masing-masing secara terinci dan mendetail."3
Hal yang perlu diperhatikan dalam pembahasan ini adalah bahwa tawaran Hasan al-Banna tersebut lahir sebagai respon terhadap kondisi umum di Mesir saat itu. Pemimpin umat ini berusaha keras merumuskan instrumen-instrumen untuk melepaskan diri dari kondisi sulit tersebut. Itulah sebabnya, ia menamakan prinsip-prinsip tersebut al-Munjiyaatul-'Asyr (Sepuluh Hal yang Menyelamatkan). Beberapa prinsip tersebut dapat penulis sebutkan, misalnya: persatuan, kebebasan, menjalankan syariat Islam, dan menegakkan hukum-hukum pidana masing-masing pada urutan pertama, kedua, keenam, dan kedelapan.4
Konsep yang diajukan al-Ikhwan al-Muslimun ini --yang kemudian dijadikan rujukan oleh banyak organisasi sesudahnya-- mengalami dinamika aktualisasinya dari waktu ke waktu di bawah panduan "Sang Mursyid" (Hasan al-Banna). Organisasi dakwah ini berupaya memperjelas dinamika perjalanannya secara terperinci melalui dialog terbatas antara Hasan al-Banna dengan sahabat-sahabat terdekatnya.5 Di bawah ini akan dipaparkan esensi dialog tersebut.
Pertama, Hasan al-Banna sejak semula telah berusaha keras menarik kekuatan orang-orang Qibthi Mesir ke dalam barisannya. Keinginannya untuk bekerja sama dengan mereka didasarkan atas persepsi bahwa masing-masing golongan merupakan bagian dari umat dan mempunyai hak untuk dihormati dan dicintai. Muhammad Hamid Abu Naser menceritakan bahwa Hasan al-Banna pernah memintanya untuk mengumumkan kepada warga Ashiuth --salah satu wilayah utama Qibthi Mesir-- bahwa tujuan dakwah Hasan al-Banna adalah membangun masyarakat beragama. Masyarakat diarahkan untuk berpegang teguh pada agama, termasuk orang-orang Kristen. Keagungan dakwah inilah yang mendorong Mathran Qana --pejabat sesudah Muhammad Hamid Abu Naser-- untuk mendukung Hasan al-Banna dan misi dakwahnya secara terbuka.
Kedua, menjalin ikatan dengan orang yang mempunyai hubungan personal dengan simbol-simbol Qibthiyah. Bahkan Hasan al-Banna pernah mengundang salah seorang rekannya, Luis Fanus, anggota Dewan Perwakilan Rakyat wilayah Abnub, untuk berbincang-bincang bersamanya dan jamaah al-Ikhwan al-Muslimun dalam forum mingguan hari Selasa. Fanus sering menyertai Hasan al-Banna dalam perjalan mengunjungi kota-kota di Mesir.
Ketiga, Hasan al-Banna bekerja sama dengan Luis Fanus dan tokoh-tokoh Qibthi lainnya seperti Wahid Dous dan Karim Tsabit dalam organisasi politik dari seksi Penyuluh Anggota.
Keempat, ketika pemerintahan Husain Siri Pasya pindah dari Kairo ke Qana --pada waktu itu Hasan al-Banna masih menjadi guru-- maka orang yang segera meminta tanggapan dalam parlemen mengenai sebab-sebab perpindahan tersebut adalah Taufiq Dous Pasya, seorang Qibthi Mesir. Selain Ightil (yang ikut mengantarkan jenazah Hasan al-Banna ke pemakaman), Hasan al-Banna juga menjalin hubungan dengan seorang Qibthi lainnya, Makram Abid Pasya.
Kelima, sebagian orang Qibthi ikut memberikan sumbangan kepada jamaah al-Ikhwan al-Muslimun dalam rangka membeli wilayah baru untuk para jamaah di Halabiyah Jadidah (Halabi Baru). Setelah pindah, al-Ikhwan al-Muslimun menerbitkan buku kecil yang mengungkapkan rasa terima kasih atas partisipasi orang-orang Qibthi.
Keenam, Hasan al-Banna mengatakan bahwa sebagian tokoh Qibthi mengajukan diri kepadanya untuk bergabung bersama al-Ikhwan al-Muslimun, karena menurut mereka organisasi ini merupakan "saudara orang-orang Mesir." Salah seorang tokoh Qibthi juga pernah menghadiri seminar yang digelar oleh al-Ikhwan al-Muslimun di Thantha.
Ketujuh, Ahmad Adil Kamal, penulis buku an-Nuqath Fauqa-Huruuf (Titik di atas Huruf) menjelaskan bahwa ketika Hasan al-Banna mencalonkan dirinya dalam pemilihan parlemen di Mesir (1944) dari daerah Ismailiyah, maka yang menjadi wakilnya di kota Thur di tepi Sinai adalah orang Kristen Yunani yang namanya dimesirkan menjadi Ulu Kharisto. Ahmad Adil mengatakan bahwa sikap Hasan al-Banna itu diambil berdasarkan pertimbangan praktis. Ketika Hasan al-Banna berhadapan dengan kekuatan politik kelompok sekular, mereka berusaha menjadikannya terbaratkan (westernized) dan menolak keberadaannya (hlm. 91).
Setelah wafatnya Hasan al-Banna, terjadilah kesenjangan ijtihad di tubuh al-Ikhwan al-Muslimun. Kelompok ini terbagi atas pihak yang pro dan kontra dengan jalan (metode) yang lama. Dua kecenderungan tersebut dapat dicermati pada pemikiran beberapa tokoh al-Ikhwan al-Muslimun yang mewakili dua kecenderungan yang berbeda ini.
Pertama, buku Syekh Muhammad al-Ghazali, At-Ta'ashshub wat-Tasaamuh bainal-Masihiyyah wal-Islam (Fanatisme dan Toleransi di antara Kristen dan Islam)6 dan buku Syekh Yusuf Qardhawi, Ghairul-Muslimiin fil-Mujtama'il-Islaami (Yang Bukan Kaum Muslimin dalam Masyarakat Islam).7 Kedua buku ini merepresentasikan kontinuitas garis pemikiran Hasan al-Banna mengenai kedudukan kaum nonmuslim.
Kedua, pemikiran yang menyimpang dari jalan pertama yang diwakili oleh Sayyid Quthub dengan bukunya Fizdilaal il-Qur'an (Di Bawah Lindungan Al-Qur'an)8 dan Syekh Sa'id Hawwa dengan bukunya Al-Madkhal ila Da'watil-Ikhwan il-Muslimun (Pintu Masuk Dakwah al-Ikhwan al-Muslimun).9
Muhammad al-Ghazali dan Yusuf Qardhawi: di Atas Jejak Hasan al-Banna
Pada intinya, keempat buku tersebut berisi pandangan-pandangan berikut.
Pertama, buku Syekh Muhammad al-Ghazali --yang mengalami cetak ulang untuk ketiga kali pada 1965-- tidak memberi penekanan pada hak-hak nonmuslim, melainkan dari perspektif sejarahnya saja. Akan tetapi, ia mempunyai arti penting dalam menjawab tuduhan-tuduhan sebagian kalangan mengenai sikap Islam terhadap nonmuslim (hlm. 4).
Pada permulaan bukunya, ia menegaskan bahwa Kitabullah mewajibkan kita untuk merealisasikan keadilan, menyadarkan semua orang tentang kondisi umum yang dihadapi, dan tidak menghiraukan persahabatan atau permusuhan dengan si kaya atau si miskin (hlm. 33). Syekh Muhammad al-Ghazali mendasarkan pandangan itu pada ayat di bawah ini.
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap diri sendiri afau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan." (an-Nisa': 135)
Syekh Muhammad al-Ghazali juga mengupas tiga ayat yang sering menjadi perdebatan berkepanjangan, yaitu:
"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir, menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin." (Ali Imran: 28)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu)..." (al-Ma'idah: 51).
"Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak... " (at-Taubah: 8).
Syekh Muhammad al-Ghazali mengatakan bahwa ia menguatkan argumennya dengan ayat-ayat tersebut karena adanya anggapan di kalangan masyarakat muslim mengenai perlunya pemutusan hubungan dengan nonmuslim serta membenci mereka. Anggapan tersebut muncul karena kekeliruan memahami konteks ayat. Padahal ayat-ayat tersebut turun dalam konteks orang-orang nonmuslim yang berbuat sewenang-wenang terhadap Islam dan memerangi kaum muslimin. Memang, dalam kondisi semacam ini, kaum muslimin diharuskan menjauhi orang-orang nonmuslim tersebut dan tidak boleh mengangkat mereka sebagai pemimpin umat (hlm. 40).
Bagi Syekh Muhammad al-Ghazali, ayat-ayat tersebut melarang kaum muslimin memilih pemimpin nonmuslim yang zalim, yang sengaja menghinakan Islam, mengotori sejarahnya, dan menjatuhkan pemeluknya (hlm. 44). Ulama terpandang ini juga mengingatkan bahwa hubungan sosial muslim dan nonmuslim telah dilakukan sejak periode awal berdasarkan landasan otentik ketika diskusi tentang prinsip ini belum dijadikan topik umum. Tidak terdapat ketegangan yang berarti dalam realisasi hubungan ini dari masa ke masa, kecuali pada momen-momen tertentu pada masa belakangan. Landasan ini didasarkan atas pandangan "Bagi mereka apa (kebaikan) yang ada pada kami dan bagi mereka apa (keburukan) yang menimpa diri kami" (hlm. 48).
Syekh Muhammad al-Ghazali menegaskan bahwa Islam memandang kelompok-kelompok yang mengikat perjanjian bersama orang-orang Islam, baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani, secara politis dan kebangsaan sebagai "orang-orang muslim" juga. Karenanya, mereka mempunyai hak dan kewajiban meskipun secara individual mereka tetap berpegang pada akidah, ibadah, dan kondisi spesifiknya. Terlihat bahwa Islam membangun sistem sosial berdasarkan prinsip saling membahu dan bekerja sama. Islam tidak berpandangan sempit melalui pelarangan terhadap kaumnya untuk berhubungan dengan Ahli Kitab atau sebaliknya (hlm. 55). Dengan pendekatan ini, menurut penulis, Syekh Muhammad al-Ghazali telah berhasil merumuskan sikap yang jelas mengenai pemberian hak dan penghormatan terhadap nonmuslim.
Kedua, keberadaan buku Syekh Yusuf Qardhawi melengkapi buku yang pertama, meskipun buku ini diterbitkan pada sekitar dua puluh tahun setelah penerbitan buku Syekh Muhammad al-Ghazali. Karya Syekh Yusuf Qardhawi ini lebih memberi kejelasan mengenai rumusan hak-hak dan kewajiban nonmuslim.
Dalam pendahuluan bukunya, Syekh Yusuf Qardhawi menegaskan bahwa prinsip pertama hubungan sosial ahlu dzimmah (warga nonmuslim) dalam wilayah Islam adalah bahwa mereka mempunyai hak-hak seperti orang-orang Islam. Demikian pula mereka dibebani kewajiban-kewajiban seperti orang-orang Islam kecuali dalam hal-hal tertentu (hlm. 9).
Syekh Yusuf Qardhawi mencatat beberapa hak tersebut, yaitu:
  • Memperoleh perlindungan dari musuh, baik dari luar maupun dari dalam.
  • Memperoleh perlindungan jiwa, raga, harta, dan kehormatan.
  • Mendapatkan keamanan dalam kondisi lemah, tua, dan kemiskinan.
  • Kebebasan beragama.
  • Kebebasan bekerja dan berusaha.
Dalam topik ini, Syekh Yusuf Qardhawi menekankan bahwa kalangan nonmuslim memperoleh kebebasan bekerja dan berusaha dengan cara menjalin hubungan dengan kalangan lain, memberi mereka peluang untuk memilih profesi secara bebas, dan mempersilakan mereka menjalankan berbagai aktivitas ekonomi. Jadi, kesempatan-kesempatan yang diberikan kepada warga nonmuslim sama dengan yang diberikan kepada umat Islam (hlm: 21).
Bahkan ulama besar ini menegaskan pula bahwa ahlu dzimmah mempunyai hak dalam mengurus pemerintahan sebagaimana kaum muslimin, kecuali hal-hal yang melibatkan mayoritas kelompok Islam, seperti kepemimpinan negara, kepala angkatan bersenjata (sebab posisi ini berkaitan dengan jihad yang merupakan puncak ibadah dalam pandangan Islam), dan peradilan untuk umat Islam. Yang disebut terakhir ini tidak boleh dijalani oleh nonmuslim, sebab hukum harus sejalan dengan syariat Islam, sehingga tidak mungkin nonmuslim diminta menghukumi sesuatu dengan hukum Islam yang tidak mereka imani (hlm. 23).
Syekh Yusuf Qardhawi mensarikan kewajiban-kewajiban ahlu dzimmah menjadi tiga butir, yaitu: membayar upeti dan pajak, berkomitmen terhadap hukum undang-undang Islam dalam hubungan kebendaan dan lain-lain, serta menghormati simbol-simbol dan perasaan kaum muslimin.
Terdapat kemungkinan untuk membebani pajak lebih besar kepada ahlu dzimmah bila mereka menguasai sejumlah besar sumber-sumber ekonomi di berbagai sektor. Syekh Yusuf Qardhawi mendasarkan hal ini pada penafsiran surat at-Taubah yang mengandung ungkapan: "Sehingga mereka (mau) memberikan pajak dari tangan (mereka), sedang mereka adalah kecil." Menurut pendapat sebagian ulama, penggunaan kata "kecil" bukan dimaksudkan untuk merendahkan ahlu dzimmah, melainkan mempunyai konotasi "Menyerah dan meletakkan senjata serta tunduk pada hukum negara Islam" (hlm. 32). Coba diperhatikan bahwa konteks yang dimaksud ayat ini adalah dalam kondisi perang. Syekh Yusuf Qardhawi mendasarkan pula pandangannya pada pemikiran bahwa pajak besar itu dibayarkan sebagai ganti pembiayaan angkatan bersenjata yang hanya diwajibkan bagi kaum muslimin. Dengan pembayaran pajak itu, ahlu dzimmah terbebas dari tugas-tugas kemiliteran (hlm. 34).
Syekh Yusuf Qardhawi mengingatkan bahwa kaum muslimin dikenai pengeluaran yang justru lebih besar untuk pembiayaan zakat. Dalam kitab-kitab fikih mazhab Maliki tertera ketentuan bahwa diundangkannya hukum pajak bagi ahlu dzimmah sebagai imbangan hukum zakat bagi kaum muslimin.
Ulama produktif ini menunjukkan dalam kitabnya Fiqhuz Zakat bahwa diperbolehkan mengambil pajak dari ahlu dzimmah agar sama dengan orang-orang Islam dalam kewajiban mengeluarkan harta, meskipun pajak tersebut tidak disebut zakat. Pajak ini juga tidak harus disebut jizyah (upeti) bila ahlu dzimmi keberatan dengan istilah tersebut. Umar bin Khattab r.a. pernah memungut pajak dari orang-orang Kristen Bani Taghlab dengan istilah shadaqah, bukan jizyah, untuk menggembirakan mereka. Yang perlu ditekankan adalah esensinya, bukan nama atau istilah (hlm. 56).
Membahas ayat mengenai pengangkatan pemimpin dari kalangan nonmuslim oleh kaum muslimin yang pernah ditafsirkan Syekh Muhammad al-Ghazali, Syekh Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa larangan Al-Qur'an itu diberlakukan bila di satu sisi umat Islam siap melakukannya dan di sisi lain bila diketahui kaum nonmuslim akan menyakiti kaum muslimin serta jelas-jelas memusuhi Allah dan Rasul-Nya (hlm. 67). Ia mengatakan bahwa jika Islam telah memperbolehkan kaum muslimin menikahi Ahli Kitab, maka hal itu menunjukkan bahwa tidak ada persoalan dalam hal kecintaan orang Islam terhadap nonmuslim (hlm. 68).
Pemikiran Sayyid Quthub: Pemisahan Total
Buku-buku Sayyid Quthub dan Syekh Sa'id Hawwa mencoba memandang persoalan hubungan sosial muslim-nonmuslim dari perspektif dan logika yang berbeda dengan dua penulis yang telah dibahas sebelumnya. Sayyid Quthub merumuskan pandangan berdasarkan komentarnya terhadap ayat berikut.
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada Hari Kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keaduan tunduk." (at-Taubah: 29)
Sayyid Quthub mengomentari ayat di atas sebagai berikut. "Sesungguhnya ayat ini dan berikutnya merupakan bentuk umum, baik redaksi maupun arti yang dikehendaki. Maksudnya untuk seluruh Ahli Kitab di semenanjung Arab dan wilayah lain di dunia. Hal tersebut merupakan hukum-hukum final, meliputi pertimbangan-pertimbangan esensial mengenai kaidah-kaidah yang melandasi hubungan-hubungan sebelumnya antara masyarakat Islam dan Ahli Kitab, khususnya orang-orang Kristen ... Pertimbangan yang amat jelas mengenai hukum-hukum baru ini adalah perintah untuk memerangi Ahli Kitab yang menyeleweng dari agama Allah sampai mereka mengeluarkan pajak kepala (jizyah) dengan tunduk dan patuh. Perjanjian dan seluruh hubungan dengan mereka tidak dapat dilaksanakan kecuali didasarkan pada prinsip ini. Dinyatakan bahwa ahlu dzimmah memiliki hak-hak dalam masa perjanjian serta dilaksanakannya perdamaian antara mereka dengan orang-orang Islam. Bila mereka hendak memeluk Islam secara teologis, maka peluklah. Dengan demikian mereka termasuk kelompok kaum muslimin."
Sayyid Quthub menambahkan, "Mereka tidak benci untuk memeluk Islam secara teologis sebab prinsip Islam dengan tegas menyatakan "tidak ada paksaan dalam beragama." Akan tetapi, mereka tidak meninggalkan agamanya kecuali jika mereka mengeluarkan pajak kepala dan tegak di antara mereka agama masyarakat muslim yang menjanjikan prinsip ini."10
Mengomentari ayat tentang pengangkatan pemimpin ("Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali-wali..."), Sayyid Quthub tidak menyetujui tesis yang menyatakan bahwa yang dilarang diangkat sebagai pemimpin adalah orang nonmuslim yang sewenang-wenang terhadap Islam dan golongan yang memerangi Islam saja. Ia mengajukan tesisnya bahwa yang dilarang diangkat sebagai pemimpin oleh kaum muslimin adalah seluruh pemeluk Yahudi dan Nasrani di mana saja dan kapan saja. "Di belahan bumi mana pun sampai Hari Kiamat kelak," tegas pemikir-ideolog ini.
Ia menggarisbawahi, "Sesungguhnya Al-Qur'an mendidik individu muslim agar mereka murni memberikan loyalitasnya hanya kepada Allah dan Rasul-Nya serta akidah dan kelompok Islam. Selain itu, Kitab Suci terakhir dan paripurna ini juga mengharuskan pemisahan diri secara total dari barisan yang tidak sejalan dengan prinsip ini, serta seluruh barisan yang tidak menegakkan panji-panji Allah, tidak mengikuti kepemimpinan Rasulullah Saw., dan tidak bergabung dalam kelompok yang mewakili hizbullah (tentara Allah).11
Ia menegaskan bahwa loyalitas yang dilarang adalah saling menolong dan memadu janji setia dengan Yahudi dan Nasrani. "Mereka berkedok sebagai orang-orang Islam dalam perkaranya, lalu mereka beranggapan bahwa sikap seperti itu diperbolehkan bagi mereka berdasarkan apa yang terjadi dari kompleksitas penanganan hal-hal yang baik bagi umum," papar Sayyid Quthub.
Ia berkomentar, "Orang Islam dituntut bertoleransi terhadap Ahlu Kitab, tetapi dilarang memberikan loyalitas kepada mereka dalam konotasi saling menolong dan memadu janji setia bersama mereka ... Tidak layak bagi seorang muslim untuk mengganjal muslim lain yang berupaya memisahkan hubungan secara total dengan semua orang yang memilih jalan selain Islam."
Sayyid Quthub mengingatkan untuk tidak mencampuradukkan antara seruan Islam agar pemeluknya bersikap toleran dalam bermuamalah dengan Ahli Kitab serta bersikap baik kepada mereka dalam masyarakat Islam yang hidup damai bersama ahlu dzimmah, dengan loyalitas yang tidak boleh dilakukan seorang muslim kecuali kepada Allah, Rasul, dan kelompok Islam.
Ia tidak memberikan batasan mengenai bagaimana gambaran masyarakat Islam yang bertoleransi dan memberikan hak-hak tertentu kepada Ahli Kitab, tetapi di sisi lain memisahkan diri dari mereka. Bila dilihat dari pengertian yang dimaksud oleh ungkapan-ungkapannya, hampir tidak ada ruang bagi kerja sama dan saling memahami antara kaum muslimin dan Ahli Kitab, baik yang tunduk ataupun yang oposan, meskipun mereka tetap konsisten membayar pajak kepala. Berdasarkan pernyataan Sayyid Quthub, pembaca dapat melihat betapa berbedanya pemikiran tokoh ini dengan Hasan al-Banna dan kontinuitas pemikirannya yang dielaborasi oleh Syekh Muhammad al-Ghazali dan Syekh Yusuf Qardhawi.
Persoalannya adalah jika pembicaraan tentang persamaan hak, kerja sama, atau bahkan kecintaan orang Islam terhadap nonmuslim tidak mengacu pada pemikiran Sayyid Quthub, maka pelaksanaan hubungan sosial muslim-nonmuslim akan dibayangi keragu-raguan besar. Ini karena tidak ada tempat bagi hubungan positif apapun antara muslim dan nonmuslim dalam konsep "pemisahan total"-nya Sayyid Quthub.
Kesimpulan penulis tampaknya dikuatkan oleh pernyataan Sayyid Quthub sendiri. "Bentuk pemisahan ini pada dasarnya tidaklah final, tidak pula benar-benar kaku antara kaum muslimin di Madinah dan sebagian Ahli Kitab... Pada waktu itu masih terdapat hubungan loyalitas dan janji setia, hubungan ekonomi, kerja sama, hubungan tetangga, dan persahabatan... Akan tetapi, hubungan tersebut akhirnya membuka peluang bagi Yahudi untuk memainkan strategi liciknya terhadap Islam dan pemeluknya... Maka turunlah ayat untuk meneguhkan kesadaran di kalangan kaum muslimin dalam masalah ini guna mewujudkan pendekatan baru Al-Qur'an tentang realitas kehidupan dan menumbuhkan dalam hati umat Islam kemauan untuk berpisah secara total dengan kaum yang tidak berafiliasi dengan kelompok Islam (hlm. 910).
Setelah menguraikan pandangan Sayyid Quthub, marilah kita simak pemikiran Syekh Sa'id Hawwa tentang pandangan Islam mengenai kaum nonmuslim. Ia menggagas pemikiran tersebut dalam bukunya, al-Madkhal ila Da'watil-Ikhwan il-Muslimun, sebagai berikut. "Perbincangan para fuqaha mengenai keberadaan nonmuslim berbelit-belit antara yang terlalu mempersulit dan terlampau mempermudah. Di satu sisi, mereka melarang Ahlu dzimmah bekerja dalam tugas-tugas kenegaraan, namun di sisi lain sebagian fuqaha membolehkan Ahlu dzimmah berpartisipasi hingga level kementerian. Secara prinsipil, kita memposisikan diri untuk bekerja sama dengan nonmuslim sejalan dengan pernyataan minimal para fuqaha. Berdasarkan pandangan itu, kita mengajak nonmuslim di berbagai belahan bumi untuk mengadakan transaksi kerja, dan mereka harus mengakui bahwa penguasaan berada pada Islam dan kaum muslimin. Mereka mempunyai hak dalam kementerian negara dan Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan jumlah mereka. Mereka berhak mendirikan sekolah-sekolah khusus dan diperbolehkan memasuki sekolah-sekolah umum. Mereka mempunyai hak dalam peradilan dan boleh menggunakan jasa peradilan sesuai hukum yang diyakini. Hak-hak tanggungan sosial mereka dilindungi dan kegiatan keagamaannya dijaga."
Syekh Sa'id Hawwa menambahkan, "Mengenai pajak kepala, mereka berhak memilih antara membayarnya dan dengan itu terbebas dari tugas pengabdian secara paksa atau terlibat dalam tugas tersebut." Ia juga mengatakan, "Ungkapan yang digunakan selama berabad-abad terhadap Ahlu Dzimmah adalah bagi mereka kebaikan yang ada pada kita dan bagi mereka pula keburukan yang menimpa kita bila mereka tetap konsisten bersama kita. Hal itulah yang meneguhkan hubungan kita dengan seluruh warga negara nonmuslim di atas bumi Islam."
"Sesungguhnya umat Islam tidak akan meninggalkan agamanya. Sejarah dan realitas menyaksikan bahwa pada gilirannya nonmuslim diberi hak memilih, yaitu meninggalkan negara Islam atau mengadakan transaksi bersama kaum muslimin di atas asas keadilan. Jika mereka menghendaki pilihan yang ketiga, yakni agar kaum muslimin meninggalkan agamanya, maka hal ini tertolak," tegas Syekh Sa'id Hawwa.
Ulama ini pun menyatakan, "Semua orang hendaklah mengetahui bahwa Islam harus menegakkan hukum. Karenanya, hendaklah mereka bergegas dari sekarang untuk meneliti redaksi transaksi dengan kaum muslimin. Semua pihak mempunyai peluang untuk mengajukan keinginannya sebelum datang waktu ketika transaksi harus dibuat oleh satu pihak. Yang jelas, kebijakan ini tidak dimaksudkan kecuali demi kebaikan bersama" (hlm. 282-283).
Pada bagian lain, Syekh Sa'id Hawwa mencantumkan apa yang dinamakan Daftar Latihan Moral bagi anggota al-Ikhwan al-Muslimun. Dalam daftar tersebut dirumuskan beberapa prinsip yang salah satunya adalah merendahkan diri (tawadhu') terhadap sesama mukmin dan merasa bangga di hadapan orang-orang kafir. Ia menjelaskan bagaimana merealisasikan rasa bangga tersebut, yakni dengan cara memupuk sikap lebih unggul melalui upaya-upaya pendekatan terhadap mereka atau berinteraksi dengan mereka dalam kemaslahatan, serta memiliki strategi yang matang (hlm. 346).
Tidak dibutuhkan usaha keras untuk membuktikan bahwa pendapat Syekh Sa'id Hawwa berangkat dari ketidaksenangannya terhadap nonmuslim. Ia menerima mereka dengan sinis, bekerja sama dengan mereka di atas prinsip arogansi, dan memandang dengan kaca mata yang menang di atas yang kalah. Berdasarkan analisis ini, terlihat adanya dua perspektif tentang persamaan hak warga negara.
Pandangan Jamaah Jihad: Islam Melarang Persamaan Hak
Secara sepintas, penulis ingin membahas pemikiran Sayyid Quthub mengenai pandangan Jamaah Jihad Mesir yang beranjak dari konsep "Kejahiliahan Masyarakat" (Jaahiliyyatul-Mujtama'). Konsep ini merupakan salah satu juru bicara karya-karya Sayyid Quthub sejak tahun 1950-an, khususnya tafsir Fii Dzilaalil-Qur'an dan Ma'alimun fith-Thariq (Tanda-tanda di Perjalanan).
Melalui studi yang bertajuk Muhakamah an-Nizhaam as-Siyaasi al-Mishri (Mahkamah Perundang-undangan Politik Mesir) yang dipublikasikan dalam majalah rahasia Jamaah Jihad, Kalimah al-Haq (Kalimat Kebenaran), Jamaah Jihad menegaskan bahwa hukum dan kekuasaan dalam masyarakat Islam harus di tangan kaum muslimin tanpa diikuti oleh pihak lain. Dan masyarakat hanya dapat dikategorikan atas dua golongan, yaitu Hizbullah (yang diperintahkan untuk didirikan) dan Hizb Jama'atul-Muslimin. Selain dua golongan ini disebut Hizbusy-Syaithan yang dilarang didirikan.
Jamaah Jihad menolak ide demokrasi. Seperti diketahui, salah satu pandangan demokrasi menghendaki persamaan hak antar seluruh warga negara yang dinyatakan sebagai berikut. "Dasar persamaan antar warga diteguhkan dengan mengesampingkan pertimbangan agama dan ketakwaan." Sayyid Quthub tentu saja menolak pandangan ini. Ia mengatakan, "Islam tidak menyetujui konsep ini. Islam menolak persamaan hak antara kaum muslimin dan kaum kafirin. Penolakan tersebut didasarkan atas ayat Al-Qur'an, 'Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang-orang kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian): bagaimana kamu mengambil keputusan?' (al-Qalam: 35-36). Rangkaian ayat ini membincangkan kaum kafir Quraisy dan tempat berpulangnya di akhirat!"
Sayyid Quthub melengkapi kajiannya tentang Jamaah Jihad, "...yang benar adalah bahwa persamaan hak terjadi antara orang-orang yang mempunyai kesamaan asal. Bila sekelompok orang memisahkan diri dari yang lain (semula beragama Islam, tetapi kemudian menjadi kafir), maka sia-sia belaka kita mengupayakan persamaan hak baginya. Kaum kafir tidak mempunyai hak wilayah, sehingga mereka harus membayar pajak kepala (jizyah) kepada negara Islam... dan keterangan lainnya sebagaimana telah dikenal oleh para fuqaha."
Dalam kritiknya terhadap sistem parlemen, Sayyid Quthub mengusulkan dibentuk majelis bangsa Mesir yang berperan secara tasyri'. Ketentuan ini didasarkan pada prinsip bahwa majelis tidak mempunyai hak tasyri', sebab negara Islam dituntut untuk menerapkan syariat Allah Swt sedangkan peran umat Islam hanya terbatas pada aspek penerapannya saja atau mengistinbathkan hukum. Menjawab pandangan bahwa parlemen berusaha menerapkan syariat Allah, Sayyid Quthub mengkritik syarat-syarat keanggotaan majelis dalam undang-undang Mesir yang tidak mengharuskan anggota beragama Islam.
Sayyid Quthub mempertanyakan, "Akal siapa yang dapat menerima keharusan berijtihad dan mengistinbathkan hukum dari Al-Qur'an dan As-Sunnah bagi kaum nonmuslim yang tidak mengetahui Al-Our'an dan As-Sunnah, tidak menguasai Bahasa Arab, tidak memahami motif syariat, ushul, ijma', dan fikih, tidak bersikap wara' dan adil, serta tidak memahami syarat-syarat berijtihad dan beristinbath yang ditetapkan para ulama salaf?"
Pada bagian lain tulisannya, ia mencatat, "Undang-undang Mesir berusaha keras memperlebar kesenjangan nasional dan mendorongnya terus di atas kesenjangan Islam, padahal tidak terdapat kesenjangan Islam di wilayah-wilayah. Justru negara membuat berhala yang disembah dan mengutamakan orang Mesir meski kafir dan fasik daripada orang non-Mesir meski bertakwa, saleh, berilmu, dan mampu (profesional)."
Mengenai kritik terhadap partai-partai Mesir, Sayyid Quthub menyebut Partai Wafd sebagai partai yang mempunyai "sejarah hitam" dalam memusuhi Islam, sebagaimana orang-orang Kristen pun mempunyai andil dalam mengipas-ngipasi keadaan. Jabatan sekretaris umum Partai Wafd selalu diperuntukkan bagi kelompok Kristen.
Dalam beberapa edisi majalah Kalimatul-Haq, redakturnya mengkritik Umar at-Tilmisani (mantan mursyid 'aam/pembimbing umum al-Ikhwan al-Muslimun) dengan keras, disebabkan Umar pernah menyatakan, "Organisasi ini (al-Ikhwan) merupakan jamaah internasional muslim dan nonmuslim. Hubungan kami dengan Baba Syanudat, tokoh Qibthi (yang menurut pandangan sang redaktur telah memusuhi Islam, --peny.), berada pada puncak kecintaan."
Sang redaktur menanggapi pernyataan itu dengan tulisan bertajuk "Cukup Bagimu Saja Wahai Ustadz at-Tilmasani." Ia menulis, "Cukup bagimu saja, sungguh hewan buas telah menyeruduk. Cukup bagimu saja, sungguh persoalan telah keluar dari wilayah rasio ke wilayah irasional. Allah berfirman, 'Englau tidak mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya....' (al-Mujaadilah: 22). Orang itu berbuat sewenang-wenang sedangkan Anda mencintai Syanudat?"
Kritik terhadap Jahiliah Modern
Muqaddimah fi Fiqhil-Jaahiliyyatil-Mu'aashirah (Pengantar Fikih Jahiliah Modern), yang diterbitkan di Kairo pada 1968, merupakan salah satu buku yang memuat kritik transparan terhadap kehidupan Jahiliah Modern. Buku ini membongkar kebobrokan masyarakat Jahiliah Modern, baik struktur maupun elemennya.12
Pada salah satu bagian terpenting buku ini, penulis menegaskan, "Dalam negara Islam, masyarakat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu masyarakat Islam dan masyarakat nonmuslim. Masyarakat Islam adalah pemilik dan penguasa negara serta pelaksana perkara semua orang dengan adil. Sedangkan masyarakat nonmuslim digolongkan sebagai ahlu ahd dan ahlu dzimmi (jika mereka memilih bergabung dengan negara Islam)."
Mereka harus tetap memegang perjanjian yang telah disepakati, dan kaum muslimin pun harus berbuat baik kepada mereka karena mereka berada di bawah kekuasaan Islam. Jika mereka tidak bersedia mematuhi ketentuan ini, maka mereka digolongkan sebagai ahlu harb (pihak musuh). Penulis buku ini mendasarkan argumennya pada surat at-Taubah: 29, "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir" (hlm. 58).
Abdul Jawad Yasin mengkritik pemikiran nasionalisme yang berpandangan bahwa semua orang, baik pemeluk Islam, Kristen, Yahudi, dan bahkan ateis, harus diberlakukan sama. Padahal hukum Islam tidak memandang demikian. "Mereka (kaum nonmuslim, --peny.) tidak dapat disamakan seperti itu karena syariat Islam menetapkan aturan yang berbeda terhadap mereka dibandingkan dengan aturan terhadap kaum muslimin, meskipun mereka harus tetap mendapatkan hak-hak perjanjian, tanggungan perlindungan, dan perlakuan baik di lingkungan Islam. Jaminan itu diberikan selama mereka tidak memerangi dan mengusir kaum muslimin dari teritorialnya," tegasnya.
Penulis buku ini menambahkan, "Bagi minoritas Kristen di Mesir dipersilakan membahas persatuan nasional mereka. Maka mereka tidak perlu membayar pajak kepala. Akan tetapi, di bawah naungan negara Islam, tidak ada yang boleh menghindar dari pajak, tidak ada persekongkolan dalam hukum, dan tidak ada ketergantungan terhadap nonmuslim dalam pengaduan dan jihad. Nonmuslim terus berada dalam kondisi terbaik di bawah kekuatan, kebesaran, kebaikan, kehormatan, dan toleransi Islam. Dalam pengertian, mereka berada dalam kondisi ideal yang mendorong mereka memasuki Islam tanpa paksaan (hlm. 59).
Ia mengupas teks materi ke-40 Undang-Undang Mesir yang menyebutkan, "Semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan undang-undang, mereka dipersamakan dalam hak-hak dan kewajiban-kewajiban umum. Mereka tidak dibedakan karena perbedaan kelamin, asal usul, bahasa, agama, dan kepercayaan."
Menanggapi teks tersebut, ia mengatakan, "Teks itu merupakan cetak biru kepercayaan negara sekular." Sementara dalam negara Islam, seperti disebutkannya, "Agama dan kepercayaan merupakan satu-satunya parameter yang membedakan manusia" (hlm. 97).
Pendapatnya ini didasarkan pada pandangan Sayyid Quthub dalam azd-Dzilal mengenai tafsir ayat al-muwaalaat, "Bahwa negara yang hendak dicirikan dengan sebenarnya-benarnya oleh Islam tidak memiliki ciri apa pun kecuali menjadikan Islam sebagai dasar perbedaan etnis dan parameter perubahan hukum antar manusia."
Pandangan ini dibangun di atas dasar pemikiran, "Jika masyarakat menurut teks perundang-undangan terdiri atas warga negara, maka unsur pembentuknya adalah kaum muslimin. Sedangkan golongan nonmuslim yang memasuki (menjadi warga) negara ini dikategorikan sebagai ahlu dzimmah. Kelompok pertama (masyarakat dalam pengertian umum,-peny.) disandarkan pada bumi tumpah darahnya, sedangkan kelompok kedua (masyarakat Islam) disandarkan pada kekuasaan Allah Yang Maha Besar ... Tipe masyarakat yang kedua ini mempunyai ikatan persaudaraan secara teologis, bukan secara geografis sebagaimana dipedomani oleh masyarakat jahiliah" hlm. 101).
Front Islam di Sudan dan Hizbut-Tahrir
Untuk menjelaskan posisi aliran-aliran gerakan Islam kontemporer dari perspektif problem persamaan hak, tampaknya penulis perlu membahas dua kelompok selanjutnya, yaitu Front Islam Nasionalis di Sudan dan Hizbut-Tahrir al-Islam yang giat mempengaruhi terlaksananya perjanjian antara Yordan dan Palestina.
Penulis hendak membahas butir ke-10 Undang-Undang Front Islam Nasionalis di Sudan tentang pasal khusus mengenai tujuan politik dan perundang-undangan. Teks tersebut menyatakan, "Salah satu prinsip Front adalah membentuk hak-hak eksistensi keagamaan kalangan nonmuslim. Mereka berhak memperoleh kebaikan, keadilan, toleransi dalam muamalah, persamaan hak-hak politik dan peradaban, kebebasan berkepercayaan dan beribadah, serta kemerdekaan dalam sistem al-ahwal asy-syakhsyiyyah dan pendidikan agama."13
Dalam penjelasan terakhir yang diterbitkan selepas pembentukan Front Islam Nasionalis pada Juli 1985, dikemukakan bahwa Front tidak mempersempit keterlibatan nonmuslim dalam sektor-sektor pemakmuran kehidupan dunia yang memungkinkan kerja sama antarmanusia secara menyeluruh" (hlm. 26).
Ketua Umum Front Islam Nasionalis, Dr. Hasan ath-Thurabi, mengatakan di depan kongres pendirian organisasi ini, "Kita tentu berharap agar penduduk dan warga negara merasa tenteram, termasuk Ahli Kitab pada umumnya dan masyarakat Kristen khususnya. Ini karena dasar-dasar agama kita --yang lebih dekat dengan dasar-dasar agama mereka-- memberi keluasan kepada kita dan mereka, sedangkan undang-undang lain di muka bumi tidak memberi keluasan seperti itu. Baik kita maupun mereka merupakan pemilik risalah samawi yang didasarkan pada mata rantai para Rasul... Baik kita maupun mereka serupa dalam keimanan, akhlak, ibadah, dan tanggung jawab di hadapan-Nya... Di antara syarat-syarat keimanan bagi kaum muslimin adalah memelihara unsur-unsur hubungan keagamaan, menghormati risalah-risalah samawi, dan tidak membeda-bedakan para Rasul Allah."
Ia pun menerangkan tentang Front, "Hal ini merupakan prakarsa seperti yang pernah dilakukan pada masa lalu, yakni pemberlakuan dasar-dasar dan hukum-hukum Islam yang mengandung ajaran kebebasan akidah, kebudayaan, kehidupan kaum muslimin dan Ahli Kitab yang memegang akidah masing-masing ... Dasar-dasar syariat Islam menjamin hak-hak umum warga negara, baik kaum muslimin maupun nonmuslim, selama mereka berkomitmen terhadap kewajiban-kewajiban umum serta saling memberikan loyalitas antar sesama warga negara. Mereka mempunyai hak dan kewajiban seperti kita. Bahkan Islam tidak berhenti pada rincian hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang adil, melainkan melampaui keadilan undang-undang menuju keutamaan persaudaraan, kebaikan, dan keadilan."14
Setelah penulis meneliti Undang-Undang Front Islam Nasionalis pada penjelasan terakhir dan pidato ketua umumnya, penulis berpendapat bahwa undang-undang ini menekankan persamaan hak-hak politik antar warga negara, baik muslim maupun nonmuslim. Berbagai dokumen Front Islam Nasionalis tidak mengandung isyarat apapun mengenai perjanjian terhadap ahlu dzimmah atau masalah pajak kepala.
Mengenai Hizbut-Tahrir, penulis menemui pandangan yang inkonsisten. Kelompok ini mengungkapkan berbagai program undang-undang negara Islam yang dirancang para pemimpinnya. Di dalam rancangan itu disebutkan bahwa konsep-konsep yang mereka canangkan diambil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.15 Berikut penulis kutipkan beberapa program yang berkaitan dengan topik persamaan hak antara kaum muslimin dan nonmuslim, yaitu:
Pasal 20: Pengontrolan penguasa Islam adalah hak mereka. Merupakan fardhu kifayah bagi orang-orang Islam dan nonmuslim --yang telah berhak--untuk mengajukan pengaduan bila melihat ketidakadilan para penguasa atau menerima perlakuan tidak wajar dari penguasa Islam.
Pasal 103: Setiap warga negara yang telah dewasa dan berakal, baik pria maupun wanita dan muslim atau nonmuslim, berhak menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hanya saja, keanggotaan nonmuslim terbatas pada masalah pengaduan ketidakadilan penguasa atau pemberlakuan penguasa (atau masyarakat) Islam yang tidak wajar terhadap masyarakat yang diwakilinya.
Pasal 105: Syura merupakan hak orang-orang Islam saja. Sedangkan mengeluarkan pendapat merupakan hak semua warga negara, baik muslim maupun nonmuslim.
Pasal 140: Ahli dzimmi dibebani pembayaran jizyah (pajak kepala). Jizyah diambil dari pria dewasa selama mereka mampu membayarnya, tidak diambil dari wanita dan anak-anak.
Pasal 142: Mencukupkan pembayaran pajak biasa yang diperbolehkan syariat untuk mengisi baitul-mal (kas negara) dari kaum muslimin. Sedangkan warga nonmuslim tidak dikenai pajak ini secara mutlak dan hanya dikenai pajak kepala.
Penulis berpendapat bahwa rancangan undang-undang ini berupaya keras memperluas peluang kerja sama politik. Hal itu dapat dilihat pada pasal 21 yang memperbolehkan berdirinya partai politik serta diperbolehkannya wanita memasuki Majelis Permusyawaratan Rakyat dan melakukan seluruh hak musyawarah. Akan tetapi, dalam hal ini berbeda dengan peluang yang diberikan kepada nonmuslim
Penulis pernah membaca tulisan seorang peneliti muda mengenai universitas-universitas Islam kontemporer yang dikirimkan kepada Universitas Islam di Madinah al-Munawarah. Dalam hasil penelitian itu antara lain dibahas mengenai Hizbut-Tahrir yang memberikan kesempatan kepada nonmuslim di MPR untuk mengadukan ketidakadilan penguasa muslim. Sang peneliti tidak menyetujui pemikiran tersebut dengan alasan bahwa MPR merupakan salah satu bagian penting dari pemerintahan Islam, maka tidak sah mengangkat orang kafir sebagai anggotanya, karena dapat terjadi ia memerintah si muslim. Peneliti itu menjelaskan bahwa MPR bertugas membahas kebijakan-kebijakan pemerintahan Islam. Lalu bagaimana mungkin rahasia-rahasia majelis diserahkan kepada orang kafir lantaran dia adalah anggota MPR?16
Undang-undang Iran dan Jami'at Islami Pakistan
Ada dua gerakan Islam di luar Arab yang tak dapat dilupakan, yakni revolusi Islam di Iran dan Jamaah Islam di Pakistan. Penulis berusaha menjelaskan keduanya sebatas tersedianya sumber-sumber yang ada pada penulis.
Beberapa pasal Undang-Undang Iran menjelaskan posisi warga nonmuslim, yakni sebagai berikut.17
Pasal 3: Tujuan pemerintah adalah menjamin kebebasan politik dan sosial dalam batas undang-undang, menghilangkan diskriminasi yang tidak adil, dan memberikan kesempatan kepada semua warga negara dalam semua sektor, material maupun immaterial.
Pasal 12: Aliran resmi di Iran adalah Syi'ah Ja'fariyah atau Syi'ah Dua Belas. Aliran-aliran Islam lain dan mazhab Hanafi, Syafi'i, Maliki, Hambali, dan Zaidi juga dihargai. Mengikuti aliran-aliran tersebut --dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam sesuai dengan pemahamannya-- diperbolehkan secara bebas. Aliran-aliran ini memperoleh panduan resmi dan di bawah pengawasan dalam masalah pendidikan, pengajaran Islam, dan ahwalusy-syakhshiyyah (bagian dari hukum privat, --pent.), serta hal-hal yang terkait dengannya, seperti masalah peradilan.
Pasal 13: Orang-orang Iran Zaradesyt, Yahudi, dan Nasrani sebagai kelompok minoritas agama memperoleh kebebasan melaksanakan ajaran agama masing-masing dalam lingkup undang-undang. Mereka berhak beramal sesuai dengan kaidah-kaidah ahwalusy-syakhshiyyah dan ajaran-ajaran agama.
Pasal 14: Merujuk pada ayat Al-Qur'an (yang terjemahannya adalah) sebagai berikut. "Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil" (al-Mumtahanah: 8). Oleh karena itu, pemerintah Republik Islam Iran dan kaum muslimin wajib bergaul dengan kalangan nonmuslim berdasarkan sunnah secara wajar, adil, dan islami. Kaum nonmuslim harus mendapatkan hak-hak kemanusiaannya. Pasal ini berlaku bagi mereka yang tidak melakukan aktivitas apa pun yang berlawanan dengan Islam atau Republik Islam Iran.
Pasal 64: Kelompok Zaradest dan Yahudi, Nasrani Asyuri dan Kaldani, dan Nasrani Arman di utara dan selatan Iran masing-masing berhak mengangkat seorang wakil dalam MPR Islam. Jika populasi kelompok minoritas bertambah, mereka berhak mendapatkan tambahan jatah seorang wakil untuk setiap 150.000 jiwa setiap sepuluh tahun.
Pasal 67: Pengambilan sumpah wakil rakyat menggunakan Al-Qur'an, sedangkan wakil minoritas dengan Kitab Sucinya masing-masing.18
Dari undang-undang di atas dan aturan-aturan Republik Islam Iran lainnya, penulis tidak menemukan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip persamaan hak antar warga negara. Penulis berpendapat bahwa redaksi undang-undang tersebut memberikan penegasan pada perlindungan terhadap semua pihak tanpa kecuali. Akan tetapi, penulis melihat kekhususan undang-undang itu, yakni bahwa kaum nonmuslim tidak dilibatkan dalam bidang politik, meskipun mereka berhak menjadi anggota MPR. Ini karena dari 270 anggota MPR hanya ada 4 orang wakil nonmuslim. Jumlah sekecil itu pun tidak dapat memasuki berbagai panggung politik seperti partai, parlemen, dan badan legislatif.
Revolusi Islam di Iran merupakan hal yang fenomenal, sebab, menurut keyakinan kaum Syi'ah, Republik Islam Iran merupakan negara bermazhab Ja'fari yang pertama kali didirikan sejak dua belas abad, yakni sejak bersembunyinya Imam mereka yang ke-12. Selama itu, mazhab Ja'fari tetap survive meskipun Bani Buwaihi, sebagian raja Persia, dan kaum Safawi berusaha "melenyapkan mereka" (menerapkan pandangan mazhab ini, admin). Akan tetapi, pada periode itu, kekuasaan tidak dibangun di atas pundak para mullah (fuqaha/pakar yurisprudensi Islam) dan konsep Wilayatul-Faqih (Kepemimpinan Para Fuqaha) belum dielaborasi. Konsep ini baru dimunculkan pada Revolusi Islam Iran pada 1979.
Karena dilatarbelakangi oleh keinginan historis untuk mendirikan negara yang dikuasai para fuqaha, maka konsep-konsep politik Republik Islam Iran senantiasa terbuka. Mereka tidak keberatan menerima partisipasi nonmuslim dalam pemerintahan, bahkan dalam teks undang-undang tidak terdapat persyaratan bahwa perdana menteri atau menteri harus beragama Islam.
Dalam penelitian lapangan, penulis menemukan bahwa kekhususan sikap terhadap nonmuslim ini tidak terbatas pada pemberian kesempatan kepada mereka untuk terlibat dalam pemerintahan saja, melainkan hingga pada membantu umat Islam dalam merumuskan kebijakan-kebijakan politik, meskipun jumlah wakil mereka di MPR hanya tujuh orang.
Maka peneliti yang menyadari kenyataan ini akan mengkonstatir bahwa kaum muslim dan nonmuslim saling bekerja sama dengan berlandaskan pada persamaan hak dalam kehidupan politik dan peradaban seperti yang direfleksikan oleh realitas Islam kontemporer. Pernah dikatakan bahwa pemerintah Republik Islam Iran memperlakukan kaum Yahudi dan Baha'i dengan buruk. Sebenarnya hal tersebut tidak dilakukan karena mereka Yahudi dan Baha'i, melainkan karena keduanya menentang revolusi Islam secara langsung maupun tidak langsung. Kalangan nonmuslim lain terbukti hidup berdampingan secara damai dan wajar dengan masyarakat Islam dan memberikan kontribusi signifikan dalam kegiatan perdagangan khususnya.
Karenanya, kita perlu menggarisbawahi bahwa dalam eksperirnen revolusi di Iran, undang-undang disusun dengan memuat prinsip-prinsip persamaan hak antara muslim-nonmuslim dalam politik dan peradaban. Undang-undang Republik Islam Iran memberikan hak suara dan pencalonan diri sebagai anggota MPR kepada kaum nonmuslim, sebagaimana dikonsepkan pula oleh kelompok-kelompok Islam lainnya.
Marilah kita menengok sikap Jami'at Islami Pakistan mengenai topik ini. Pandangan-pandangan pendiri organisasi ini, Abul A'la al-Maududi, senantiasa menjadi frame of reference bagi generasi berikutnya, sebagaimana pengaruh pemikiran Hasan al-Banna terhadap para tokoh penerusnya di lingkungan al-Ikhwan al-Muslimun.
Sebagai rujukan, penulis menggunakan dua tulisan Abul A'la al-Maududi, yakni Tadwiinud-Dustuuril-Islaami (Penyusunan Undang-undang Islami) yang ditulis pada 1952 dan Huquuqu Ahludz Dzimmahfii ad-Daulah al-Islaamiyyah (Hak-hak Ahlu Dzimmah di Negara Islam) yang terbit pada 1948 dalam suasana pembentukan undang-undang negara Pakistan yang baru lahir. Kedua tulisan ini dipublikasikan dalam bunga rampai tulisan Abul A'la al-Maududi dengan topik Sistem Politik Negara Islam.19
Abul A'la al-Maududi mendasarkan pemikirannya pada prinsip, "Kita tidak menemui fakta pada masa kenabian dan khilafah rasyidah yang menyatakan bahwa ahlu dzimmah dapat memilih dan menjadi anggota MPR, memilih kepala pemerintahan negara, qadhi, menteri, gubernur, atau panglima angkatan bersenjata, dan diperbolehkan menyampaikan pendapat dalam pemilihan khalifah. Padahal ahlu dzimmah sudah terdapat pada zaman Rasulullah Saw., bahkan jumlahnya mencapai puluhan juta jiwa di masa kekhilafahan rasyidah. Seandainya mereka berhak ikut serta dalam urusan-urusan tersebut, tentu Rasulullah Saw. telah memberikan hak tersebut kepadanya dan para sahabat setelah periode Nabi Saw. pun akan melakukan hal yang sama." (hlm. 303)
Abul A'la al-Maududi berpendapat bahwa undang-undang Islam membagi masyarakat nonmuslim atas tiga kategori, yaitu: 1. Kelompok yang masuk dalam naungan negara Islam melalui transaksi perdamaian atau perjanjian. 2. Kelompok yang ditaklukkan dalam pertempuran. 3. Kelompok yang berintegrasi ke dalam negara Islam tanpa melalui dua jalur di atas.
Ia menegaskan bahwa Islam menjamin seluruh hak dan kebebasan nonmuslim, kecuali dalam sebagian hak berpolitik sebagaimana diulas sebelumnya. Ia berulang-ulang menyatakan, "Orang-orang yang tidak beriman terhadap prinsip-prinsip Islam tidak berhak mengurus masalah pemerintahan atau menjadi anggota MPR. Mereka pun tidak dapat memilih tokoh-tokoh calon wakil rakyat." Akan tetapi ditambahkannya, "Mereka diberi hak-hak keanggotaan dan suara dalam majelis-majelis lokal, sebab majelis-majelis ini tidak berurusan langsung dengan sistem kehidupan. Mereka bertugas mengurus masalah-masalah untuk merealisasikan keperluan-keperluan lokal." (hlm. 359-360)
Catatan Penutup
Mengakhiri pembahasan ini, penulis mengemukakan beberapa catatan sebagai berikut.
Pertama, sesungguhnya kita mengutamakan studi pendahuluan mengenai hubungan muslim-nonmuslim dalam perspektif keadilan, bukan persamaan hak. Ini karena keadilan berarti memberikan hak kepada penerimanya secara total dan proporsional dalam konteks situasi dan kondisi objektif yang melingkupinya, sedangkan persamaan hak sering diartikan sebagai kesamaan antara dua pihak baik dalam bentuk maupun isi. Melenyapkan simbol-simbol persamaan hak antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas dalam pemerintah, misalnya, bisa dianggap menodai makna keadilan.
Masyarakat Islam telah digiring oleh propaganda persamaan hak kepada kondisi tanpa diskriminasi antara kaum muslimin dan Kristen dalam tugas-tugas yang berlabel keagamaan atau hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan (ideologi).
Sebagai contoh persamaan hak, kita mendengar suara-suara yang menuntut diperbolehkannya pria Ahli Kitab menikahi kaum muslimah. Argumentasi yang dibangun adalah bahwa pria muslim diperbolehkan menikahi wanita Ahli Kitab, maka sebaliknya pun diperbolehkan.
Menurut pendapat penulis, pemikiran tersebut tidak tepat bila ditinjau dari perspektif keadilan, sebab seorang muslim yang menikahi wanita Ahli Kitab, secara syar'i, dituntut untuk menghormati keyakinan sang isteri.
Terjadi selisih pandangan para fuqaha mengenai masalah ini. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa sebaiknya seorang suami muslim tidak menekan isterinya yang Ahli Kitab dalam urusan keislaman sehingga tidak dituduh memaksa. Sebagian lagi mengatakan bahwa suami dituntut menjaga keamanan isterinya dalam perjalanan menuju ke gereja. Sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa suami muslim tidak berhak melarang isteri meminum khamar, karena hal itu diperbolehkan agamanya, meskipun sang suami diperbolehkan memberikan nasihat kepadanya.
Keadaannya akan lain bila pria Ahli Kitab menikahi wanita muslim. Ini karena Ahli Kitab tidak mengakui eksistensi agama Islam termasuk masalah kerasulan Muhammad Saw. Sangat besar kemungkinannya, mereka akan merusak komitmen wanita muslim terhadap ajaran agamanya atau bahkan mengeluarkannya dari Islam! Na'uzu billahi min dzaalik!
Dalam kondisi tersebut dan kasus-kasus sejenisnya, tesis persamaan hak menjadi simbol dan parameter yang tidak reliabel, sedangkan keadilan merupakan parameter yang lebih objektif dan valid.
Kita berbincang tentang sistem dan klasifikasi, bukan prioritas dan diskriminasi. Penjelasan tentang fenomena kelompok-kelompok sebaiknya berangkat dari kesadaran akan konsep ini. Tujuan kita tetap menghormati seluruh hak dalam bingkai komitmen yang total dengan perspektif keadilan dan kewajaran.
Kedua, membedakan syariat dari fikih. Maksud penulis, membedakan antara ketentuan Al-Qur'an dan As-Sunnah yang bersifat mengikat dengan ijtihad manusia yang sama sekali tidak mengikat dan selalu disandarkan pada penggagasnya. Dalam menghadapi fikih, sebaiknya kita mempertimbangkannya kembali dengan parameter syariat. Bila sejalan dengan teks syariat dan maksud sebenarnya, maka kita boleh menerimanya, tetapi jika bertentangan dengan syariat, kita harus menolaknya.
Misalnya, Al-Qur'an menyatakan bahwa menjaga kemuliaan manusia merupakan salah satu tema penting dalam ajaran Islam. Islam menjelaskan bahwa kita harus berlaku baik terhadap seluruh manusia yang tidak sewenang-wenang terhadap kaum muslimin atau memfitnah Islam. Maka setiap perbincangan atau ijtihad mengenai nonmuslim harus dikembalikan kepada parameter-parameter dan aturan-aturan ini. Bila tidak sejalan dengan parameter-parameter tersebut, berbagai pemikiran itu terbuka untuk dikritik dan disanggah.
Ketiga, lapangan ijtihad fikih tentang kedudukan nonmuslim sangat luas. Seorang peneliti dapat mendalami studinya dengan mempelajari seluruh pandangan dan hipotesis, baik yang positif maupun yang negatif. Hal itu bukanlah suatu kelemahan, melainkan pertanda kesuburan fikih Islam dan tradisi yang tak terbatas.
Keluasan pandangan itu tidak membuat kita menjadi picik, selama kita bersandar pada parameter hukum yang berupa teks-teks syariat dan kaidah-kaidah ushul fikih. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah mengapa dalam kondisi tertentu lahir tradisi berpikir yang melahirkan ijtihad yang toleran dan moderat, sedangkan dalam kondisi lain tidak banyak ijtihad yang dihasilkan, melainkan yang memberatkan dan "keras"?
Penulis telah mengupas dua penafsiran mengenai ayat Al-Qur'an surat al-Maidah: 51 yang berkaitan dengan hubungan muslim-nonmuslim. Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpinpemimpin(mu)..." Syekh Muhammad al-Ghazali dan Dr. Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa ayat tersebut merupakan ajakan untuk tidak bekerja sama dengan orang-orang nonmuslim yang memusuhi umat Islam.
Sedangkan Sayyid Quthub berpandangan bahwa ayat tersebut merupakan hukum yang berlaku umum yang mengajak kaum muslimin memisahkan diri dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. Penafsiran Sayyid Quthub diikuti oleh gerakan Jamaah Jihad. Penafsiran tersebut juga mencuri perhatian para pemikir lain, menyebar luas, dan menjadi tesis yang paling banyak diikuti oleh umat Islam dewasa ini.
Bukankah kita harus mempelajari situasi-kondisi yang mendorong perlunya pemisahan tegas antara muslim-nonmuslim dan memutar haluan berpikir ke arah panggilan sikap yang baik dan saling mencintai antar sesama manusia?
Bukankah kita perlu memperluas wilayah kajian agar dapat memahami watak periode buruk yang pernah dilalui umat Islam dan unsur-unsur negatifnya?
Keempat, agar kita dapat menempatkan masalah ini secara proporsional, sebaiknya kita mengingat kembali satu hal, yakni kelompok-kelompok kebangkitan Islam yang cenderung bersikap keras terhadap nonmuslim berangkat dari sikap keras pula yang bahkan tak jarang ditujukan kepada sebagian kaum muslimin sendiri. Kelompok-kelompok itu sendiri yang membangun pemikiran kejahiliahan masyarakat dan propaganda saling mengkafirkan.
Kerancuan pola pikir sebagian muslimin terhadap umat Islam lainnya justru tidak lebih lunak dari sikap mereka terhadap kaum nonmuslim. Buku-buku Islam yang penulis teliti, isinya hanya menghakimi umat Islam yang tak sepaham. Bagian inilah yang masih membutuhkan kajian tersendiri.
Penulis tidak ingin memberikan perhatian khusus terhadap studi ini, sebab persoalannya terlampau besar. Salah satu sudut yang penulis analisis ini merupakan bagian dari topik yang sangat luas. Penanganan topik besar tersebut dan solusinya sebaiknya diteliti oleh pakar politik dan ilmuan-ilmuan lain.
Titik pemberangkatan studi yang penulis tawarkan adalah: mengapa para pemuda Islam tertarik pada tesis-tesis yang dominan dan "keras"? Apakah hal ini merupakan fenomena fundamentalisme atau fenomena kebenaran?
Kelima, kepakaran peneliti yang membahas masalah hubungan muslim-nonmuslim tidaklah memadai kecuali bila ia mengakui urgensi penganalisisan topik secara lebih luas dan komprehensif, tidak hanya merumuskan hal-hal yang sudah jelas seperti masalah kewarganegaraan, etnis, dan transaksi ahli dzimmi.
Melainkan penelitian itu juga bertujuan menjernihkan khazanah Islam dari berbagai distorsi dan meninjau kembali sebagian produk ijtihad fikih yang penulis anggap tidak lebih utama daripada pengungkapan hukum-hukum syariat dan tujuan-tujuannya (maqaashid). Literatur yang secara spesifik membahas topik ini adalah buah pikir seorang pakar yurisprudensi Islam, Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, yang bertajuk Ahkaamu Ahluz-Zimmah. Buku tersebut ditulis dalam situasi Perang Salib dan invasi pasukan tempur Tartar ke Dunia Islam.
Kita tidak boleh melupakan kesungguhan dan penelitian para pakar dalam bidang ini, terutama karya Syekh Muhammad al-Ghazali dan Dr. Yusuf Qardhawi, Dr. Abdul Karim Zaidan tentang hukum mengenai ahli zimmi dan orang-orang yang dilindungi, Dr. Muhammad Fathi Utsman mengenai hak-hak manusia dalam Islam dan seruannya untuk mengadakan pengkajian ulang dalam bidang fikih khusus tentang nonmuslim, Dr. Shubhi Mahmashani tentang Islam dan hubungan antar negara, Prof. Ismail Raji al-Faruqi tentang hak-hak nonmuslim di negara Islam, dan Muhammad Jalal Kasyak yang menulis buku Khawathirul Muslim fi Mas'alatil-'Aqalliyyat.
Penulis telah mendeskripsikan berbagai upaya serius di bidang pemikiran untuk mengungkap masalah persamaan hak antar warga negara. Akan tetapi kemampuan menggagas ide saja tidaklah cukup, sebab yang penting adalah bagaimana ide-ide itu dapat diterima. Umat Islampun membutuhkan berbagai kompetensi lain yang dibutuhkan untuk mencari relevansi antara ide-ide dan masa depan.(media.isnet)
Wallahu a'lam bish-shawab.


Oleh: Prof. Fahmi Huwaidi

Aku Bukan Pujangga

Rentetan Kata - Kata yang terukir diatas kertas
bukanlah sebuah kata sandiwara
akan tetapi sebuah renungan dalam jiwa yang paling dalam

aku bukan pujangga

itu adalah sebuah kalimat pendek
yang menjelaskan jadi diriku dalam
deretan kata-kata ini,



SEBUAH RENUNGAN UNTUK UMAT ISLAM

Peristiwa karbala bukanlah sebatas aset sejarah yang hanya berada dalam lingkup khasanah Syiah semata, Namun rangkaian sejarah tragedi karbala merupakan aset sejara islam secara umum yang merespresentasikan eksistensi berbagai mazhab dalam islam, tragedi karbala merupakan momentum sejarah menyedihkan yang selalu menyedihkan duka bagi setiap individu muslim.