Sementara
itu, problem metodologis yang esensial membutuhkan peneguhan sebelum
memunculkan persoalan kebangkitan Islam, yakni masalah hak antar warga
negara. Itulah sebabnya, struktur atau unsur-unsur kebangkitan juga
membutuhkan batasan-batasan agar kita mengetahui pandangan-pandangan
yang harus dipedomani dan ukuran yang harus digunakan untuk menilai
pandangan tersebut. Di sisi lain, kita harus mengakui bahwa seorang
peneliti menghadapi berbagai kesulitan dalam menjelaskan fenomena
pemikiran Islam secara objektif. Artinya, ketika kita mencoba
mengungkapkan kondisi fenomena Islam dari perspektif persamaan hak antar
warga negara, kita secara metodologis menghadapinya dengan dua
pertanyaan mendasar, yakni "siapa" dan "apa."
Kebangkitan Islam: "Siapa" dan "Apa"?
Meski struktur fenomena keislaman atau unsur-unsurnya bukan topik studi ini, namun pembatasan struktur tersebut akan membantu dalam perumusan pembahasan. Begitu pula sumber yang dirujuk untuk keperluan studi ini dan merumuskan usulan-usulan adalah sangat penting, apalagi dalam wacana yang mengandung variasi pemikiran yang amat beragam mengenai kebangkitan Islam.
Meski struktur fenomena keislaman atau unsur-unsurnya bukan topik studi ini, namun pembatasan struktur tersebut akan membantu dalam perumusan pembahasan. Begitu pula sumber yang dirujuk untuk keperluan studi ini dan merumuskan usulan-usulan adalah sangat penting, apalagi dalam wacana yang mengandung variasi pemikiran yang amat beragam mengenai kebangkitan Islam.
Variasi
pemecahan permasalahan kebangkitan Islam selalu mempersoalkan berbagai
kelompok atau sempalannya tanpa sikap kritis terhadap fakta bahwa tidak
semua kelompok ini menempati posisi signifikan dalam kebangkitan.
Anggapan bahwa semua kelompok itu signifikan mungkin disebabkan oleh
rumusan yang kurang tepat mengenai kebangkitan, yakni mengasumsikan
kebangkitan sebagai kemampuan suatu kelompok untuk mengadakan
pergerakan.
Penulis
akan mengungkapkan secara singkat mengenai konsep dasar dari masalah
yang kita perbincangkan. Menurut penulis, ada empat kategori kelompok
dalam Islam.
Pertama,
kelompok-kelompok terorganisir dan berpolitik. Kelompok-kelompok ini
direpresentasikan oleh al-Ikhwan al-Muslimun (Mesir), al-Jihad wa
at-Tahrir al-Islami, al-Jabhah al-Islamiyah al-Qaumiyah (Sudan),
al-Ittijah al-Islami (Tunisia), dan al-Hizbut at-Tahrir al-Islami.
Gerakan sejenis yang terdapat di luar Dunia Arab misalnya eksperimen di
Iran (oleh kaum muslim Syi'i) dan program Jami'at Islami di India.
Kedua,
kelompok-kelompok terorganisasi, tetapi tidak berpolitik.
Kelompok-kelompok ini direpresentasikan oleh mayoritas kaum sufi dan
Jamaah Tablig di India. Kelompok-kelompok ini mengalami perkembangan
kegiatan hingga mencapai Dunia Arab pada tahun-tahun terakhir ini.
Selain itu, para pengikut kelompok salaf juga termasuk dalam kategori
ini. Mereka menekankan tauhid dan memerangi bid'ah. Dan yang terakhir
adalah para pendukung sunnah Nabi Saw. yang banyak bermunculan di Mesir.
Ketiga,
kelompok bebas yang tidak berafiliasi pada suatu organisasi, tetapi
memainkan peran aktif dalam membentuk intelektualitas Islam dewasa ini.
Misalnya: Syekh Ali ath-Thantawi, Syekh M. Mutawalli asy-Sya'rawi, Syekh
Abdul Hamid Kisyik, Syekh Ahmad al-Makhlawi, dan Syekh Dr. Muhammad
Sa'id Ramadhan al-Buthi, Guru Besar Fakultas Syari'ah di Damaskus yang
sebagian karyanya tersebar di kalangan agamawan Mesir, meskipun tokoh
ini kurang dikenal masyarakat umum.
Keempat,
kelompok-kelompok yang tidak terorganisasi dan tidak berpolitik.
Kelompok-kelompok ini direpresentasikan oleh umat Islam yang sedang
dalam proses pertumbuhan keimanan. Akhir-akhir ini mereka memenuhi
masjid-masjid serta melaksanakan ibadah 'umrah dan haji, sedangkan kaum
wanitanya mengenakan jilbab secara sukarela. Lapisan ini berkembang
cepat dan mengarahkan dirinya secara esensial. Mereka tidak mempunyai
sistem apa pun, baik dalam pemahaman ataupun eksperimen keberagamaan.
Akan tetapi, mereka meletakkan seluruh aspek kehidupan di bawah pedoman
Islam. Memang harus diakui, banyak jalan menuju keridhaan Allah Swt.
Penulis
memandang bahwa kelompok yang disebut terakhir merupakan fondasi real
bagi kebangkitan Islam yang tidak direkayasa, apalagi mereka merupakan
sumber pijakan bagi kelompok-kelompok lain, baik yang moderat dan
ekstrem, maupun yang a-politis.
Berdasarkan
konsep ini, maka tidak cukup mencari solusi ideal dan komprehensif
mengenai masalah persamaan hak antar warga negara hanya dengan
menganalisis berbagai kelompok dan aliran kebangkitan Islam. Hal yang
tidak kalah pentingnya adalah memahami psikomassa dan pengaruhnya.
Hal
yang terkait dengan pertanyaan "apa" yang disodorkan di awal tulisan
adalah kelompok yang pernah bereaksi disebabkan kesenjangan pemikiran
dengan aliran-aliran atau kelompok-kelompok lain. Bukti paling jelas
dari bentuk-bentuk yang terorganisasi itu adalah al-Ikhwan al-Muslimun,
kelompok Islam yang terbesar pada zaman sekarang dengan catatan
perjalanannya yang dinamis. Penulis pikir, permasalahan penting ini
membutuhkan pembahasan yang lebih mendetil, apalagi persoalan ini akan
merangsang dialog terhadapnya.
Hasan al-Banna: Persamaan Hak Penuh
Dalam berbagai tulisan Hasan al-Banna, dapat ditarik pandangan yang jelas tentang persamaan hak antara kaum muslimin dan nonmuslim. Tokoh kharismatis pendiri al-Ikhwan al-Muslimun ini membahasnya dalam tulisan Nahwan Nuur (Menuju Cahaya) yang pada dasarnya ditujukan pada penguasa dan pejabat tinggi Mesir selama kurang lebih setengah abad. Karya itu berjudul Al-Islam Yahmiil 'Aqalliyyaati wa Yashuunu Huquuqal Ajaanib (Islam Menjaga Kelompok Minoritas dan Memelihara Hak-hak Orang Lain). Dalam buku itu dinyatakan, "Islam menyucikan persatuan manusia secara universal... kemudian mensucikan persatuan agama secara universal pula ketika terjadi fanatisme. Islam mengharuskan para pemeluknya untuk mengimani seluruh agama samawi." Kemudian Hasan al-Banna menegaskan, "Inilah Islam yang dibangun di atas sikap moderat dan kesadaran tinggi, tidak mungkin diikuti oleh pemecah belah persatuan yang terpadu ini. Namun sebaliknya, kesucian agama yang mampu mempersatukan manusia ini terkadang dijadikan alat legitimasi kepentingan tertentu".1
Dalam berbagai tulisan Hasan al-Banna, dapat ditarik pandangan yang jelas tentang persamaan hak antara kaum muslimin dan nonmuslim. Tokoh kharismatis pendiri al-Ikhwan al-Muslimun ini membahasnya dalam tulisan Nahwan Nuur (Menuju Cahaya) yang pada dasarnya ditujukan pada penguasa dan pejabat tinggi Mesir selama kurang lebih setengah abad. Karya itu berjudul Al-Islam Yahmiil 'Aqalliyyaati wa Yashuunu Huquuqal Ajaanib (Islam Menjaga Kelompok Minoritas dan Memelihara Hak-hak Orang Lain). Dalam buku itu dinyatakan, "Islam menyucikan persatuan manusia secara universal... kemudian mensucikan persatuan agama secara universal pula ketika terjadi fanatisme. Islam mengharuskan para pemeluknya untuk mengimani seluruh agama samawi." Kemudian Hasan al-Banna menegaskan, "Inilah Islam yang dibangun di atas sikap moderat dan kesadaran tinggi, tidak mungkin diikuti oleh pemecah belah persatuan yang terpadu ini. Namun sebaliknya, kesucian agama yang mampu mempersatukan manusia ini terkadang dijadikan alat legitimasi kepentingan tertentu".1
Dalam tulisannya yang bertajuk Musykilaatunaa fi Dhau'in-Nizhaam il-Islaami
(Problematika Kita dalam Perspektif Sistem Islam), Hasan al-Banna
menyatakan dengan jelas, "Minoritas nonmuslim yang menjadi warga negara
ini diajari kesempurnaan ilmu tentang bagaimana mencapai ketenangan
hidup, keamanan, keadilan, dan persamaan hak secara penuh dalam
menjalankan seluruh ajaran agamanya."
Dengan
nada menyatukan, Hasan al-Banna menambahkan, "Sejarah panjang yang
membentangkan hubungan baik dan mulia antara warga negara muslim dan
nonmuslim, cukuplah bagi kita sebagai bekal. Kita perlu mencatat
prestasi para warga negara yang mulia itu karena mereka menjunjung
tinggi makna-makna ini pada setiap kesempatan, menjadikan Islam sebagai
makna nasionalismenya, meskipun hukum-hukum dan ajaran-ajarannya tidak
berasal dari akidah mereka (akidah non-Islam, --peny.) sendiri."2
Dalam
rumusannya mengenai prinsip-prinsip dasar sistem sosial islami
sebagaimana dipedomani al-Ikhwan al-Muslimun, Hasan al-Banna menawarkan
sebelas prinsip dalam tulisannya Bainal-Amsi wal-Yaum (Antara Kemarin
dan Hari Ini). Salah satu prinsip tersebut adalah "Mengumandangkan
persaudaraan antar manusia, kebangkitan pria dan wanita secara bersama,
solidaritas dan persamaan hak antara pria dan wanita, serta merumuskan
tugas masing-masing secara terinci dan mendetail."3
Hal
yang perlu diperhatikan dalam pembahasan ini adalah bahwa tawaran Hasan
al-Banna tersebut lahir sebagai respon terhadap kondisi umum di Mesir
saat itu. Pemimpin umat ini berusaha keras merumuskan
instrumen-instrumen untuk melepaskan diri dari kondisi sulit tersebut.
Itulah sebabnya, ia menamakan prinsip-prinsip tersebut al-Munjiyaatul-'Asyr
(Sepuluh Hal yang Menyelamatkan). Beberapa prinsip tersebut dapat
penulis sebutkan, misalnya: persatuan, kebebasan, menjalankan syariat
Islam, dan menegakkan hukum-hukum pidana masing-masing pada urutan
pertama, kedua, keenam, dan kedelapan.4
Konsep
yang diajukan al-Ikhwan al-Muslimun ini --yang kemudian dijadikan
rujukan oleh banyak organisasi sesudahnya-- mengalami dinamika
aktualisasinya dari waktu ke waktu di bawah panduan "Sang Mursyid"
(Hasan al-Banna). Organisasi dakwah ini berupaya memperjelas dinamika
perjalanannya secara terperinci melalui dialog terbatas antara Hasan
al-Banna dengan sahabat-sahabat terdekatnya.5 Di bawah ini akan dipaparkan esensi dialog tersebut.
Pertama,
Hasan al-Banna sejak semula telah berusaha keras menarik kekuatan
orang-orang Qibthi Mesir ke dalam barisannya. Keinginannya untuk bekerja
sama dengan mereka didasarkan atas persepsi bahwa masing-masing
golongan merupakan bagian dari umat dan mempunyai hak untuk dihormati
dan dicintai. Muhammad Hamid Abu Naser menceritakan bahwa Hasan al-Banna
pernah memintanya untuk mengumumkan kepada warga Ashiuth --salah satu
wilayah utama Qibthi Mesir-- bahwa tujuan dakwah Hasan al-Banna adalah
membangun masyarakat beragama. Masyarakat diarahkan untuk berpegang
teguh pada agama, termasuk orang-orang Kristen. Keagungan dakwah inilah
yang mendorong Mathran Qana --pejabat sesudah Muhammad Hamid Abu Naser--
untuk mendukung Hasan al-Banna dan misi dakwahnya secara terbuka.
Kedua,
menjalin ikatan dengan orang yang mempunyai hubungan personal dengan
simbol-simbol Qibthiyah. Bahkan Hasan al-Banna pernah mengundang salah
seorang rekannya, Luis Fanus, anggota Dewan Perwakilan Rakyat wilayah
Abnub, untuk berbincang-bincang bersamanya dan jamaah al-Ikhwan
al-Muslimun dalam forum mingguan hari Selasa. Fanus sering menyertai
Hasan al-Banna dalam perjalan mengunjungi kota-kota di Mesir.
Ketiga,
Hasan al-Banna bekerja sama dengan Luis Fanus dan tokoh-tokoh Qibthi
lainnya seperti Wahid Dous dan Karim Tsabit dalam organisasi politik
dari seksi Penyuluh Anggota.
Keempat,
ketika pemerintahan Husain Siri Pasya pindah dari Kairo ke Qana --pada
waktu itu Hasan al-Banna masih menjadi guru-- maka orang yang segera
meminta tanggapan dalam parlemen mengenai sebab-sebab perpindahan
tersebut adalah Taufiq Dous Pasya, seorang Qibthi Mesir. Selain Ightil
(yang ikut mengantarkan jenazah Hasan al-Banna ke pemakaman), Hasan
al-Banna juga menjalin hubungan dengan seorang Qibthi lainnya, Makram
Abid Pasya.
Kelima,
sebagian orang Qibthi ikut memberikan sumbangan kepada jamaah al-Ikhwan
al-Muslimun dalam rangka membeli wilayah baru untuk para jamaah di
Halabiyah Jadidah (Halabi Baru). Setelah pindah, al-Ikhwan al-Muslimun
menerbitkan buku kecil yang mengungkapkan rasa terima kasih atas
partisipasi orang-orang Qibthi.
Keenam,
Hasan al-Banna mengatakan bahwa sebagian tokoh Qibthi mengajukan diri
kepadanya untuk bergabung bersama al-Ikhwan al-Muslimun, karena menurut
mereka organisasi ini merupakan "saudara orang-orang Mesir." Salah
seorang tokoh Qibthi juga pernah menghadiri seminar yang digelar oleh
al-Ikhwan al-Muslimun di Thantha.
Ketujuh, Ahmad Adil Kamal, penulis buku an-Nuqath Fauqa-Huruuf
(Titik di atas Huruf) menjelaskan bahwa ketika Hasan al-Banna
mencalonkan dirinya dalam pemilihan parlemen di Mesir (1944) dari daerah
Ismailiyah, maka yang menjadi wakilnya di kota Thur di tepi Sinai
adalah orang Kristen Yunani yang namanya dimesirkan menjadi Ulu
Kharisto. Ahmad Adil mengatakan bahwa sikap Hasan al-Banna itu diambil
berdasarkan pertimbangan praktis. Ketika Hasan al-Banna berhadapan
dengan kekuatan politik kelompok sekular, mereka berusaha menjadikannya
terbaratkan (westernized) dan menolak keberadaannya (hlm. 91).
Setelah
wafatnya Hasan al-Banna, terjadilah kesenjangan ijtihad di tubuh
al-Ikhwan al-Muslimun. Kelompok ini terbagi atas pihak yang pro dan
kontra dengan jalan (metode) yang lama. Dua kecenderungan tersebut dapat
dicermati pada pemikiran beberapa tokoh al-Ikhwan al-Muslimun yang
mewakili dua kecenderungan yang berbeda ini.
Pertama, buku Syekh Muhammad al-Ghazali, At-Ta'ashshub wat-Tasaamuh bainal-Masihiyyah wal-Islam (Fanatisme dan Toleransi di antara Kristen dan Islam)6 dan buku Syekh Yusuf Qardhawi, Ghairul-Muslimiin fil-Mujtama'il-Islaami (Yang Bukan Kaum Muslimin dalam Masyarakat Islam).7 Kedua buku ini merepresentasikan kontinuitas garis pemikiran Hasan al-Banna mengenai kedudukan kaum nonmuslim.
Kedua, pemikiran yang menyimpang dari jalan pertama yang diwakili oleh Sayyid Quthub dengan bukunya Fizdilaal il-Qur'an (Di Bawah Lindungan Al-Qur'an)8 dan Syekh Sa'id Hawwa dengan bukunya Al-Madkhal ila Da'watil-Ikhwan il-Muslimun (Pintu Masuk Dakwah al-Ikhwan al-Muslimun).9
Muhammad al-Ghazali dan Yusuf Qardhawi: di Atas Jejak Hasan al-Banna
Pada intinya, keempat buku tersebut berisi pandangan-pandangan berikut.
Pada intinya, keempat buku tersebut berisi pandangan-pandangan berikut.
Pertama,
buku Syekh Muhammad al-Ghazali --yang mengalami cetak ulang untuk
ketiga kali pada 1965-- tidak memberi penekanan pada hak-hak nonmuslim,
melainkan dari perspektif sejarahnya saja. Akan tetapi, ia mempunyai
arti penting dalam menjawab tuduhan-tuduhan sebagian kalangan mengenai
sikap Islam terhadap nonmuslim (hlm. 4).
Pada
permulaan bukunya, ia menegaskan bahwa Kitabullah mewajibkan kita untuk
merealisasikan keadilan, menyadarkan semua orang tentang kondisi umum
yang dihadapi, dan tidak menghiraukan persahabatan atau permusuhan
dengan si kaya atau si miskin (hlm. 33). Syekh Muhammad al-Ghazali
mendasarkan pandangan itu pada ayat di bawah ini.
"Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap diri
sendiri afau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin,
maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan." (an-Nisa': 135)
Syekh Muhammad al-Ghazali juga mengupas tiga ayat yang sering menjadi perdebatan berkepanjangan, yaitu:
"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir, menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin." (Ali Imran: 28)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu)..." (al-Ma'idah: 51).
"Bagaimana
bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang
musyrikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu,
mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak
(pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan
mulutnya, sedang hatinya menolak... " (at-Taubah: 8).
Syekh
Muhammad al-Ghazali mengatakan bahwa ia menguatkan argumennya dengan
ayat-ayat tersebut karena adanya anggapan di kalangan masyarakat muslim
mengenai perlunya pemutusan hubungan dengan nonmuslim serta membenci
mereka. Anggapan tersebut muncul karena kekeliruan memahami konteks
ayat. Padahal ayat-ayat tersebut turun dalam konteks orang-orang
nonmuslim yang berbuat sewenang-wenang terhadap Islam dan memerangi kaum
muslimin. Memang, dalam kondisi semacam ini, kaum muslimin diharuskan
menjauhi orang-orang nonmuslim tersebut dan tidak boleh mengangkat
mereka sebagai pemimpin umat (hlm. 40).
Bagi
Syekh Muhammad al-Ghazali, ayat-ayat tersebut melarang kaum muslimin
memilih pemimpin nonmuslim yang zalim, yang sengaja menghinakan Islam,
mengotori sejarahnya, dan menjatuhkan pemeluknya (hlm. 44). Ulama
terpandang ini juga mengingatkan bahwa hubungan sosial muslim dan
nonmuslim telah dilakukan sejak periode awal berdasarkan landasan
otentik ketika diskusi tentang prinsip ini belum dijadikan topik umum.
Tidak terdapat ketegangan yang berarti dalam realisasi hubungan ini dari
masa ke masa, kecuali pada momen-momen tertentu pada masa belakangan.
Landasan ini didasarkan atas pandangan "Bagi mereka apa (kebaikan) yang
ada pada kami dan bagi mereka apa (keburukan) yang menimpa diri kami"
(hlm. 48).
Syekh
Muhammad al-Ghazali menegaskan bahwa Islam memandang kelompok-kelompok
yang mengikat perjanjian bersama orang-orang Islam, baik dari kalangan
Yahudi maupun Nasrani, secara politis dan kebangsaan sebagai
"orang-orang muslim" juga. Karenanya, mereka mempunyai hak dan kewajiban
meskipun secara individual mereka tetap berpegang pada akidah, ibadah,
dan kondisi spesifiknya. Terlihat bahwa Islam membangun sistem sosial
berdasarkan prinsip saling membahu dan bekerja sama. Islam tidak
berpandangan sempit melalui pelarangan terhadap kaumnya untuk
berhubungan dengan Ahli Kitab atau sebaliknya (hlm. 55). Dengan
pendekatan ini, menurut penulis, Syekh Muhammad al-Ghazali telah
berhasil merumuskan sikap yang jelas mengenai pemberian hak dan
penghormatan terhadap nonmuslim.
Kedua,
keberadaan buku Syekh Yusuf Qardhawi melengkapi buku yang pertama,
meskipun buku ini diterbitkan pada sekitar dua puluh tahun setelah
penerbitan buku Syekh Muhammad al-Ghazali. Karya Syekh Yusuf Qardhawi
ini lebih memberi kejelasan mengenai rumusan hak-hak dan kewajiban
nonmuslim.
Dalam
pendahuluan bukunya, Syekh Yusuf Qardhawi menegaskan bahwa prinsip
pertama hubungan sosial ahlu dzimmah (warga nonmuslim) dalam wilayah
Islam adalah bahwa mereka mempunyai hak-hak seperti orang-orang Islam.
Demikian pula mereka dibebani kewajiban-kewajiban seperti orang-orang
Islam kecuali dalam hal-hal tertentu (hlm. 9).
Syekh Yusuf Qardhawi mencatat beberapa hak tersebut, yaitu:
- Memperoleh perlindungan dari musuh, baik dari luar maupun dari dalam.
- Memperoleh perlindungan jiwa, raga, harta, dan kehormatan.
- Mendapatkan keamanan dalam kondisi lemah, tua, dan kemiskinan.
- Kebebasan beragama.
- Kebebasan bekerja dan berusaha.
Dalam
topik ini, Syekh Yusuf Qardhawi menekankan bahwa kalangan nonmuslim
memperoleh kebebasan bekerja dan berusaha dengan cara menjalin hubungan
dengan kalangan lain, memberi mereka peluang untuk memilih profesi
secara bebas, dan mempersilakan mereka menjalankan berbagai aktivitas
ekonomi. Jadi, kesempatan-kesempatan yang diberikan kepada warga
nonmuslim sama dengan yang diberikan kepada umat Islam (hlm: 21).
Bahkan
ulama besar ini menegaskan pula bahwa ahlu dzimmah mempunyai hak dalam
mengurus pemerintahan sebagaimana kaum muslimin, kecuali hal-hal yang
melibatkan mayoritas kelompok Islam, seperti kepemimpinan negara, kepala
angkatan bersenjata (sebab posisi ini berkaitan dengan jihad yang
merupakan puncak ibadah dalam pandangan Islam), dan peradilan untuk umat
Islam. Yang disebut terakhir ini tidak boleh dijalani oleh nonmuslim,
sebab hukum harus sejalan dengan syariat Islam, sehingga tidak mungkin
nonmuslim diminta menghukumi sesuatu dengan hukum Islam yang tidak
mereka imani (hlm. 23).
Syekh
Yusuf Qardhawi mensarikan kewajiban-kewajiban ahlu dzimmah menjadi tiga
butir, yaitu: membayar upeti dan pajak, berkomitmen terhadap hukum
undang-undang Islam dalam hubungan kebendaan dan lain-lain, serta
menghormati simbol-simbol dan perasaan kaum muslimin.
Terdapat
kemungkinan untuk membebani pajak lebih besar kepada ahlu dzimmah bila
mereka menguasai sejumlah besar sumber-sumber ekonomi di berbagai
sektor. Syekh Yusuf Qardhawi mendasarkan hal ini pada penafsiran surat
at-Taubah yang mengandung ungkapan: "Sehingga mereka (mau) memberikan pajak dari tangan (mereka), sedang mereka adalah kecil."
Menurut pendapat sebagian ulama, penggunaan kata "kecil" bukan
dimaksudkan untuk merendahkan ahlu dzimmah, melainkan mempunyai konotasi
"Menyerah dan meletakkan senjata serta tunduk pada hukum negara Islam"
(hlm. 32). Coba diperhatikan bahwa konteks yang dimaksud ayat ini adalah
dalam kondisi perang. Syekh Yusuf Qardhawi mendasarkan pula
pandangannya pada pemikiran bahwa pajak besar itu dibayarkan sebagai
ganti pembiayaan angkatan bersenjata yang hanya diwajibkan bagi kaum
muslimin. Dengan pembayaran pajak itu, ahlu dzimmah terbebas dari
tugas-tugas kemiliteran (hlm. 34).
Syekh
Yusuf Qardhawi mengingatkan bahwa kaum muslimin dikenai pengeluaran
yang justru lebih besar untuk pembiayaan zakat. Dalam kitab-kitab fikih
mazhab Maliki tertera ketentuan bahwa diundangkannya hukum pajak bagi
ahlu dzimmah sebagai imbangan hukum zakat bagi kaum muslimin.
Ulama produktif ini menunjukkan dalam kitabnya Fiqhuz Zakat
bahwa diperbolehkan mengambil pajak dari ahlu dzimmah agar sama dengan
orang-orang Islam dalam kewajiban mengeluarkan harta, meskipun pajak
tersebut tidak disebut zakat. Pajak ini juga tidak harus disebut jizyah
(upeti) bila ahlu dzimmi keberatan dengan istilah tersebut. Umar bin
Khattab r.a. pernah memungut pajak dari orang-orang Kristen Bani Taghlab
dengan istilah shadaqah, bukan jizyah, untuk menggembirakan mereka.
Yang perlu ditekankan adalah esensinya, bukan nama atau istilah (hlm.
56).
Membahas
ayat mengenai pengangkatan pemimpin dari kalangan nonmuslim oleh kaum
muslimin yang pernah ditafsirkan Syekh Muhammad al-Ghazali, Syekh Yusuf
Qardhawi menjelaskan bahwa larangan Al-Qur'an itu diberlakukan bila di
satu sisi umat Islam siap melakukannya dan di sisi lain bila diketahui
kaum nonmuslim akan menyakiti kaum muslimin serta jelas-jelas memusuhi
Allah dan Rasul-Nya (hlm. 67). Ia mengatakan bahwa jika Islam telah
memperbolehkan kaum muslimin menikahi Ahli Kitab, maka hal itu
menunjukkan bahwa tidak ada persoalan dalam hal kecintaan orang Islam
terhadap nonmuslim (hlm. 68).
Pemikiran Sayyid Quthub: Pemisahan Total
Buku-buku Sayyid Quthub dan Syekh Sa'id Hawwa mencoba memandang persoalan hubungan sosial muslim-nonmuslim dari perspektif dan logika yang berbeda dengan dua penulis yang telah dibahas sebelumnya. Sayyid Quthub merumuskan pandangan berdasarkan komentarnya terhadap ayat berikut.
Buku-buku Sayyid Quthub dan Syekh Sa'id Hawwa mencoba memandang persoalan hubungan sosial muslim-nonmuslim dari perspektif dan logika yang berbeda dengan dua penulis yang telah dibahas sebelumnya. Sayyid Quthub merumuskan pandangan berdasarkan komentarnya terhadap ayat berikut.
"Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada
Hari Kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar
(agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada
mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
keaduan tunduk." (at-Taubah: 29)
Sayyid
Quthub mengomentari ayat di atas sebagai berikut. "Sesungguhnya ayat
ini dan berikutnya merupakan bentuk umum, baik redaksi maupun arti yang
dikehendaki. Maksudnya untuk seluruh Ahli Kitab di semenanjung Arab dan
wilayah lain di dunia. Hal tersebut merupakan hukum-hukum final,
meliputi pertimbangan-pertimbangan esensial mengenai kaidah-kaidah yang
melandasi hubungan-hubungan sebelumnya antara masyarakat Islam dan Ahli
Kitab, khususnya orang-orang Kristen ... Pertimbangan yang amat jelas
mengenai hukum-hukum baru ini adalah perintah untuk memerangi Ahli Kitab
yang menyeleweng dari agama Allah sampai mereka mengeluarkan pajak
kepala (jizyah) dengan tunduk dan patuh. Perjanjian dan seluruh hubungan
dengan mereka tidak dapat dilaksanakan kecuali didasarkan pada prinsip
ini. Dinyatakan bahwa ahlu dzimmah memiliki hak-hak dalam masa
perjanjian serta dilaksanakannya perdamaian antara mereka dengan
orang-orang Islam. Bila mereka hendak memeluk Islam secara teologis,
maka peluklah. Dengan demikian mereka termasuk kelompok kaum muslimin."
Sayyid
Quthub menambahkan, "Mereka tidak benci untuk memeluk Islam secara
teologis sebab prinsip Islam dengan tegas menyatakan "tidak ada paksaan
dalam beragama." Akan tetapi, mereka tidak meninggalkan agamanya kecuali
jika mereka mengeluarkan pajak kepala dan tegak di antara mereka agama
masyarakat muslim yang menjanjikan prinsip ini."10
Mengomentari
ayat tentang pengangkatan pemimpin ("Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai
wali-wali..."), Sayyid Quthub tidak menyetujui tesis yang menyatakan
bahwa yang dilarang diangkat sebagai pemimpin adalah orang nonmuslim
yang sewenang-wenang terhadap Islam dan golongan yang memerangi Islam
saja. Ia mengajukan tesisnya bahwa yang dilarang diangkat sebagai
pemimpin oleh kaum muslimin adalah seluruh pemeluk Yahudi dan Nasrani di
mana saja dan kapan saja. "Di belahan bumi mana pun sampai Hari Kiamat
kelak," tegas pemikir-ideolog ini.
Ia
menggarisbawahi, "Sesungguhnya Al-Qur'an mendidik individu muslim agar
mereka murni memberikan loyalitasnya hanya kepada Allah dan Rasul-Nya
serta akidah dan kelompok Islam. Selain itu, Kitab Suci terakhir dan
paripurna ini juga mengharuskan pemisahan diri secara total dari barisan
yang tidak sejalan dengan prinsip ini, serta seluruh barisan yang tidak
menegakkan panji-panji Allah, tidak mengikuti kepemimpinan Rasulullah
Saw., dan tidak bergabung dalam kelompok yang mewakili hizbullah
(tentara Allah).11
Ia
menegaskan bahwa loyalitas yang dilarang adalah saling menolong dan
memadu janji setia dengan Yahudi dan Nasrani. "Mereka berkedok sebagai
orang-orang Islam dalam perkaranya, lalu mereka beranggapan bahwa sikap
seperti itu diperbolehkan bagi mereka berdasarkan apa yang terjadi dari
kompleksitas penanganan hal-hal yang baik bagi umum," papar Sayyid
Quthub.
Ia
berkomentar, "Orang Islam dituntut bertoleransi terhadap Ahlu Kitab,
tetapi dilarang memberikan loyalitas kepada mereka dalam konotasi saling
menolong dan memadu janji setia bersama mereka ... Tidak layak bagi
seorang muslim untuk mengganjal muslim lain yang berupaya memisahkan
hubungan secara total dengan semua orang yang memilih jalan selain
Islam."
Sayyid
Quthub mengingatkan untuk tidak mencampuradukkan antara seruan Islam
agar pemeluknya bersikap toleran dalam bermuamalah dengan Ahli Kitab
serta bersikap baik kepada mereka dalam masyarakat Islam yang hidup
damai bersama ahlu dzimmah, dengan loyalitas yang tidak boleh dilakukan
seorang muslim kecuali kepada Allah, Rasul, dan kelompok Islam.
Ia
tidak memberikan batasan mengenai bagaimana gambaran masyarakat Islam
yang bertoleransi dan memberikan hak-hak tertentu kepada Ahli Kitab,
tetapi di sisi lain memisahkan diri dari mereka. Bila dilihat dari
pengertian yang dimaksud oleh ungkapan-ungkapannya, hampir tidak ada
ruang bagi kerja sama dan saling memahami antara kaum muslimin dan Ahli
Kitab, baik yang tunduk ataupun yang oposan, meskipun mereka tetap
konsisten membayar pajak kepala. Berdasarkan pernyataan Sayyid Quthub,
pembaca dapat melihat betapa berbedanya pemikiran tokoh ini dengan Hasan
al-Banna dan kontinuitas pemikirannya yang dielaborasi oleh Syekh
Muhammad al-Ghazali dan Syekh Yusuf Qardhawi.
Persoalannya
adalah jika pembicaraan tentang persamaan hak, kerja sama, atau bahkan
kecintaan orang Islam terhadap nonmuslim tidak mengacu pada pemikiran
Sayyid Quthub, maka pelaksanaan hubungan sosial muslim-nonmuslim akan
dibayangi keragu-raguan besar. Ini karena tidak ada tempat bagi hubungan
positif apapun antara muslim dan nonmuslim dalam konsep "pemisahan
total"-nya Sayyid Quthub.
Kesimpulan
penulis tampaknya dikuatkan oleh pernyataan Sayyid Quthub sendiri.
"Bentuk pemisahan ini pada dasarnya tidaklah final, tidak pula
benar-benar kaku antara kaum muslimin di Madinah dan sebagian Ahli
Kitab... Pada waktu itu masih terdapat hubungan loyalitas dan janji
setia, hubungan ekonomi, kerja sama, hubungan tetangga, dan
persahabatan... Akan tetapi, hubungan tersebut akhirnya membuka peluang
bagi Yahudi untuk memainkan strategi liciknya terhadap Islam dan
pemeluknya... Maka turunlah ayat untuk meneguhkan kesadaran di kalangan
kaum muslimin dalam masalah ini guna mewujudkan pendekatan baru
Al-Qur'an tentang realitas kehidupan dan menumbuhkan dalam hati umat
Islam kemauan untuk berpisah secara total dengan kaum yang tidak
berafiliasi dengan kelompok Islam (hlm. 910).
Setelah
menguraikan pandangan Sayyid Quthub, marilah kita simak pemikiran Syekh
Sa'id Hawwa tentang pandangan Islam mengenai kaum nonmuslim. Ia
menggagas pemikiran tersebut dalam bukunya, al-Madkhal ila
Da'watil-Ikhwan il-Muslimun, sebagai berikut. "Perbincangan para fuqaha
mengenai keberadaan nonmuslim berbelit-belit antara yang terlalu
mempersulit dan terlampau mempermudah. Di satu sisi, mereka melarang
Ahlu dzimmah bekerja dalam tugas-tugas kenegaraan, namun di sisi lain
sebagian fuqaha membolehkan Ahlu dzimmah berpartisipasi hingga level
kementerian. Secara prinsipil, kita memposisikan diri untuk bekerja sama
dengan nonmuslim sejalan dengan pernyataan minimal para fuqaha.
Berdasarkan pandangan itu, kita mengajak nonmuslim di berbagai belahan
bumi untuk mengadakan transaksi kerja, dan mereka harus mengakui bahwa
penguasaan berada pada Islam dan kaum muslimin. Mereka mempunyai hak
dalam kementerian negara dan Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan
jumlah mereka. Mereka berhak mendirikan sekolah-sekolah khusus dan
diperbolehkan memasuki sekolah-sekolah umum. Mereka mempunyai hak dalam
peradilan dan boleh menggunakan jasa peradilan sesuai hukum yang
diyakini. Hak-hak tanggungan sosial mereka dilindungi dan kegiatan
keagamaannya dijaga."
Syekh
Sa'id Hawwa menambahkan, "Mengenai pajak kepala, mereka berhak memilih
antara membayarnya dan dengan itu terbebas dari tugas pengabdian secara
paksa atau terlibat dalam tugas tersebut." Ia juga mengatakan, "Ungkapan
yang digunakan selama berabad-abad terhadap Ahlu Dzimmah adalah bagi
mereka kebaikan yang ada pada kita dan bagi mereka pula keburukan yang
menimpa kita bila mereka tetap konsisten bersama kita. Hal itulah yang
meneguhkan hubungan kita dengan seluruh warga negara nonmuslim di atas
bumi Islam."
"Sesungguhnya
umat Islam tidak akan meninggalkan agamanya. Sejarah dan realitas
menyaksikan bahwa pada gilirannya nonmuslim diberi hak memilih, yaitu
meninggalkan negara Islam atau mengadakan transaksi bersama kaum
muslimin di atas asas keadilan. Jika mereka menghendaki pilihan yang
ketiga, yakni agar kaum muslimin meninggalkan agamanya, maka hal ini
tertolak," tegas Syekh Sa'id Hawwa.
Ulama
ini pun menyatakan, "Semua orang hendaklah mengetahui bahwa Islam harus
menegakkan hukum. Karenanya, hendaklah mereka bergegas dari sekarang
untuk meneliti redaksi transaksi dengan kaum muslimin. Semua pihak
mempunyai peluang untuk mengajukan keinginannya sebelum datang waktu
ketika transaksi harus dibuat oleh satu pihak. Yang jelas, kebijakan ini
tidak dimaksudkan kecuali demi kebaikan bersama" (hlm. 282-283).
Pada
bagian lain, Syekh Sa'id Hawwa mencantumkan apa yang dinamakan Daftar
Latihan Moral bagi anggota al-Ikhwan al-Muslimun. Dalam daftar tersebut
dirumuskan beberapa prinsip yang salah satunya adalah merendahkan diri
(tawadhu') terhadap sesama mukmin dan merasa bangga di hadapan
orang-orang kafir. Ia menjelaskan bagaimana merealisasikan rasa bangga
tersebut, yakni dengan cara memupuk sikap lebih unggul melalui
upaya-upaya pendekatan terhadap mereka atau berinteraksi dengan mereka
dalam kemaslahatan, serta memiliki strategi yang matang (hlm. 346).
Tidak
dibutuhkan usaha keras untuk membuktikan bahwa pendapat Syekh Sa'id
Hawwa berangkat dari ketidaksenangannya terhadap nonmuslim. Ia menerima
mereka dengan sinis, bekerja sama dengan mereka di atas prinsip
arogansi, dan memandang dengan kaca mata yang menang di atas yang kalah.
Berdasarkan analisis ini, terlihat adanya dua perspektif tentang
persamaan hak warga negara.
Pandangan Jamaah Jihad: Islam Melarang Persamaan Hak
Secara sepintas, penulis ingin membahas pemikiran Sayyid Quthub mengenai pandangan Jamaah Jihad Mesir yang beranjak dari konsep "Kejahiliahan Masyarakat" (Jaahiliyyatul-Mujtama'). Konsep ini merupakan salah satu juru bicara karya-karya Sayyid Quthub sejak tahun 1950-an, khususnya tafsir Fii Dzilaalil-Qur'an dan Ma'alimun fith-Thariq (Tanda-tanda di Perjalanan).
Secara sepintas, penulis ingin membahas pemikiran Sayyid Quthub mengenai pandangan Jamaah Jihad Mesir yang beranjak dari konsep "Kejahiliahan Masyarakat" (Jaahiliyyatul-Mujtama'). Konsep ini merupakan salah satu juru bicara karya-karya Sayyid Quthub sejak tahun 1950-an, khususnya tafsir Fii Dzilaalil-Qur'an dan Ma'alimun fith-Thariq (Tanda-tanda di Perjalanan).
Melalui studi yang bertajuk Muhakamah an-Nizhaam as-Siyaasi al-Mishri (Mahkamah
Perundang-undangan Politik Mesir) yang dipublikasikan dalam majalah
rahasia Jamaah Jihad, Kalimah al-Haq (Kalimat Kebenaran), Jamaah Jihad
menegaskan bahwa hukum dan kekuasaan dalam masyarakat Islam harus di
tangan kaum muslimin tanpa diikuti oleh pihak lain. Dan masyarakat hanya
dapat dikategorikan atas dua golongan, yaitu Hizbullah (yang
diperintahkan untuk didirikan) dan Hizb Jama'atul-Muslimin. Selain dua
golongan ini disebut Hizbusy-Syaithan yang dilarang didirikan.
Jamaah
Jihad menolak ide demokrasi. Seperti diketahui, salah satu pandangan
demokrasi menghendaki persamaan hak antar seluruh warga negara yang
dinyatakan sebagai berikut. "Dasar persamaan antar warga diteguhkan
dengan mengesampingkan pertimbangan agama dan ketakwaan." Sayyid Quthub
tentu saja menolak pandangan ini. Ia mengatakan, "Islam tidak menyetujui
konsep ini. Islam menolak persamaan hak antara kaum muslimin dan kaum
kafirin. Penolakan tersebut didasarkan atas ayat Al-Qur'an, 'Maka
apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan
orang-orang yang berdosa (orang-orang kafir). Mengapa kamu (berbuat
demikian): bagaimana kamu mengambil keputusan?' (al-Qalam: 35-36). Rangkaian ayat ini membincangkan kaum kafir Quraisy dan tempat berpulangnya di akhirat!"
Sayyid
Quthub melengkapi kajiannya tentang Jamaah Jihad, "...yang benar adalah
bahwa persamaan hak terjadi antara orang-orang yang mempunyai kesamaan
asal. Bila sekelompok orang memisahkan diri dari yang lain (semula
beragama Islam, tetapi kemudian menjadi kafir), maka sia-sia belaka kita
mengupayakan persamaan hak baginya. Kaum kafir tidak mempunyai hak
wilayah, sehingga mereka harus membayar pajak kepala (jizyah) kepada
negara Islam... dan keterangan lainnya sebagaimana telah dikenal oleh
para fuqaha."
Dalam
kritiknya terhadap sistem parlemen, Sayyid Quthub mengusulkan dibentuk
majelis bangsa Mesir yang berperan secara tasyri'. Ketentuan ini
didasarkan pada prinsip bahwa majelis tidak mempunyai hak tasyri', sebab
negara Islam dituntut untuk menerapkan syariat Allah Swt sedangkan
peran umat Islam hanya terbatas pada aspek penerapannya saja atau
mengistinbathkan hukum. Menjawab pandangan bahwa parlemen berusaha
menerapkan syariat Allah, Sayyid Quthub mengkritik syarat-syarat
keanggotaan majelis dalam undang-undang Mesir yang tidak mengharuskan
anggota beragama Islam.
Sayyid
Quthub mempertanyakan, "Akal siapa yang dapat menerima keharusan
berijtihad dan mengistinbathkan hukum dari Al-Qur'an dan As-Sunnah bagi
kaum nonmuslim yang tidak mengetahui Al-Our'an dan As-Sunnah, tidak
menguasai Bahasa Arab, tidak memahami motif syariat, ushul, ijma', dan
fikih, tidak bersikap wara' dan adil, serta tidak memahami syarat-syarat
berijtihad dan beristinbath yang ditetapkan para ulama salaf?"
Pada
bagian lain tulisannya, ia mencatat, "Undang-undang Mesir berusaha
keras memperlebar kesenjangan nasional dan mendorongnya terus di atas
kesenjangan Islam, padahal tidak terdapat kesenjangan Islam di
wilayah-wilayah. Justru negara membuat berhala yang disembah dan
mengutamakan orang Mesir meski kafir dan fasik daripada orang non-Mesir
meski bertakwa, saleh, berilmu, dan mampu (profesional)."
Mengenai
kritik terhadap partai-partai Mesir, Sayyid Quthub menyebut Partai Wafd
sebagai partai yang mempunyai "sejarah hitam" dalam memusuhi Islam,
sebagaimana orang-orang Kristen pun mempunyai andil dalam
mengipas-ngipasi keadaan. Jabatan sekretaris umum Partai Wafd selalu
diperuntukkan bagi kelompok Kristen.
Dalam beberapa edisi majalah Kalimatul-Haq,
redakturnya mengkritik Umar at-Tilmisani (mantan mursyid
'aam/pembimbing umum al-Ikhwan al-Muslimun) dengan keras, disebabkan
Umar pernah menyatakan, "Organisasi ini (al-Ikhwan) merupakan jamaah
internasional muslim dan nonmuslim. Hubungan kami dengan Baba Syanudat,
tokoh Qibthi (yang menurut pandangan sang redaktur telah memusuhi Islam,
--peny.), berada pada puncak kecintaan."
Sang
redaktur menanggapi pernyataan itu dengan tulisan bertajuk "Cukup
Bagimu Saja Wahai Ustadz at-Tilmasani." Ia menulis, "Cukup bagimu saja,
sungguh hewan buas telah menyeruduk. Cukup bagimu saja, sungguh
persoalan telah keluar dari wilayah rasio ke wilayah irasional. Allah
berfirman, 'Englau tidak mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada
Allah dan Hari Akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya....' (al-Mujaadilah: 22). Orang itu berbuat sewenang-wenang sedangkan Anda mencintai Syanudat?"
Kritik terhadap Jahiliah Modern
Muqaddimah fi Fiqhil-Jaahiliyyatil-Mu'aashirah (Pengantar Fikih Jahiliah Modern), yang diterbitkan di Kairo pada 1968, merupakan salah satu buku yang memuat kritik transparan terhadap kehidupan Jahiliah Modern. Buku ini membongkar kebobrokan masyarakat Jahiliah Modern, baik struktur maupun elemennya.12
Muqaddimah fi Fiqhil-Jaahiliyyatil-Mu'aashirah (Pengantar Fikih Jahiliah Modern), yang diterbitkan di Kairo pada 1968, merupakan salah satu buku yang memuat kritik transparan terhadap kehidupan Jahiliah Modern. Buku ini membongkar kebobrokan masyarakat Jahiliah Modern, baik struktur maupun elemennya.12
Pada
salah satu bagian terpenting buku ini, penulis menegaskan, "Dalam
negara Islam, masyarakat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu masyarakat
Islam dan masyarakat nonmuslim. Masyarakat Islam adalah pemilik dan
penguasa negara serta pelaksana perkara semua orang dengan adil.
Sedangkan masyarakat nonmuslim digolongkan sebagai ahlu ahd dan ahlu
dzimmi (jika mereka memilih bergabung dengan negara Islam)."
Mereka
harus tetap memegang perjanjian yang telah disepakati, dan kaum
muslimin pun harus berbuat baik kepada mereka karena mereka berada di
bawah kekuasaan Islam. Jika mereka tidak bersedia mematuhi ketentuan
ini, maka mereka digolongkan sebagai ahlu harb (pihak musuh). Penulis
buku ini mendasarkan argumennya pada surat at-Taubah: 29, "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir" (hlm. 58).
Abdul
Jawad Yasin mengkritik pemikiran nasionalisme yang berpandangan bahwa
semua orang, baik pemeluk Islam, Kristen, Yahudi, dan bahkan ateis,
harus diberlakukan sama. Padahal hukum Islam tidak memandang demikian.
"Mereka (kaum nonmuslim, --peny.) tidak dapat disamakan seperti itu
karena syariat Islam menetapkan aturan yang berbeda terhadap mereka
dibandingkan dengan aturan terhadap kaum muslimin, meskipun mereka harus
tetap mendapatkan hak-hak perjanjian, tanggungan perlindungan, dan
perlakuan baik di lingkungan Islam. Jaminan itu diberikan selama mereka
tidak memerangi dan mengusir kaum muslimin dari teritorialnya,"
tegasnya.
Penulis
buku ini menambahkan, "Bagi minoritas Kristen di Mesir dipersilakan
membahas persatuan nasional mereka. Maka mereka tidak perlu membayar
pajak kepala. Akan tetapi, di bawah naungan negara Islam, tidak ada yang
boleh menghindar dari pajak, tidak ada persekongkolan dalam hukum, dan
tidak ada ketergantungan terhadap nonmuslim dalam pengaduan dan jihad.
Nonmuslim terus berada dalam kondisi terbaik di bawah kekuatan,
kebesaran, kebaikan, kehormatan, dan toleransi Islam. Dalam pengertian,
mereka berada dalam kondisi ideal yang mendorong mereka memasuki Islam
tanpa paksaan (hlm. 59).
Ia
mengupas teks materi ke-40 Undang-Undang Mesir yang menyebutkan, "Semua
warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan undang-undang,
mereka dipersamakan dalam hak-hak dan kewajiban-kewajiban umum. Mereka
tidak dibedakan karena perbedaan kelamin, asal usul, bahasa, agama, dan
kepercayaan."
Menanggapi
teks tersebut, ia mengatakan, "Teks itu merupakan cetak biru
kepercayaan negara sekular." Sementara dalam negara Islam, seperti
disebutkannya, "Agama dan kepercayaan merupakan satu-satunya parameter
yang membedakan manusia" (hlm. 97).
Pendapatnya
ini didasarkan pada pandangan Sayyid Quthub dalam azd-Dzilal mengenai
tafsir ayat al-muwaalaat, "Bahwa negara yang hendak dicirikan dengan
sebenarnya-benarnya oleh Islam tidak memiliki ciri apa pun kecuali
menjadikan Islam sebagai dasar perbedaan etnis dan parameter perubahan
hukum antar manusia."
Pandangan
ini dibangun di atas dasar pemikiran, "Jika masyarakat menurut teks
perundang-undangan terdiri atas warga negara, maka unsur pembentuknya
adalah kaum muslimin. Sedangkan golongan nonmuslim yang memasuki
(menjadi warga) negara ini dikategorikan sebagai ahlu dzimmah. Kelompok
pertama (masyarakat dalam pengertian umum,-peny.) disandarkan pada bumi
tumpah darahnya, sedangkan kelompok kedua (masyarakat Islam) disandarkan
pada kekuasaan Allah Yang Maha Besar ... Tipe masyarakat yang kedua ini
mempunyai ikatan persaudaraan secara teologis, bukan secara geografis
sebagaimana dipedomani oleh masyarakat jahiliah" hlm. 101).
Front Islam di Sudan dan Hizbut-Tahrir
Untuk menjelaskan posisi aliran-aliran gerakan Islam kontemporer dari perspektif problem persamaan hak, tampaknya penulis perlu membahas dua kelompok selanjutnya, yaitu Front Islam Nasionalis di Sudan dan Hizbut-Tahrir al-Islam yang giat mempengaruhi terlaksananya perjanjian antara Yordan dan Palestina.
Untuk menjelaskan posisi aliran-aliran gerakan Islam kontemporer dari perspektif problem persamaan hak, tampaknya penulis perlu membahas dua kelompok selanjutnya, yaitu Front Islam Nasionalis di Sudan dan Hizbut-Tahrir al-Islam yang giat mempengaruhi terlaksananya perjanjian antara Yordan dan Palestina.
Penulis
hendak membahas butir ke-10 Undang-Undang Front Islam Nasionalis di
Sudan tentang pasal khusus mengenai tujuan politik dan
perundang-undangan. Teks tersebut menyatakan, "Salah satu prinsip Front
adalah membentuk hak-hak eksistensi keagamaan kalangan nonmuslim. Mereka
berhak memperoleh kebaikan, keadilan, toleransi dalam muamalah,
persamaan hak-hak politik dan peradaban, kebebasan berkepercayaan dan
beribadah, serta kemerdekaan dalam sistem al-ahwal asy-syakhsyiyyah dan
pendidikan agama."13
Dalam
penjelasan terakhir yang diterbitkan selepas pembentukan Front Islam
Nasionalis pada Juli 1985, dikemukakan bahwa Front tidak mempersempit
keterlibatan nonmuslim dalam sektor-sektor pemakmuran kehidupan dunia
yang memungkinkan kerja sama antarmanusia secara menyeluruh" (hlm. 26).
Ketua
Umum Front Islam Nasionalis, Dr. Hasan ath-Thurabi, mengatakan di depan
kongres pendirian organisasi ini, "Kita tentu berharap agar penduduk
dan warga negara merasa tenteram, termasuk Ahli Kitab pada umumnya dan
masyarakat Kristen khususnya. Ini karena dasar-dasar agama kita --yang
lebih dekat dengan dasar-dasar agama mereka-- memberi keluasan kepada
kita dan mereka, sedangkan undang-undang lain di muka bumi tidak memberi
keluasan seperti itu. Baik kita maupun mereka merupakan pemilik risalah
samawi yang didasarkan pada mata rantai para Rasul... Baik kita maupun
mereka serupa dalam keimanan, akhlak, ibadah, dan tanggung jawab di
hadapan-Nya... Di antara syarat-syarat keimanan bagi kaum muslimin
adalah memelihara unsur-unsur hubungan keagamaan, menghormati
risalah-risalah samawi, dan tidak membeda-bedakan para Rasul Allah."
Ia
pun menerangkan tentang Front, "Hal ini merupakan prakarsa seperti yang
pernah dilakukan pada masa lalu, yakni pemberlakuan dasar-dasar dan
hukum-hukum Islam yang mengandung ajaran kebebasan akidah, kebudayaan,
kehidupan kaum muslimin dan Ahli Kitab yang memegang akidah
masing-masing ... Dasar-dasar syariat Islam menjamin hak-hak umum warga
negara, baik kaum muslimin maupun nonmuslim, selama mereka berkomitmen
terhadap kewajiban-kewajiban umum serta saling memberikan loyalitas
antar sesama warga negara. Mereka mempunyai hak dan kewajiban seperti
kita. Bahkan Islam tidak berhenti pada rincian hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang adil, melainkan melampaui keadilan
undang-undang menuju keutamaan persaudaraan, kebaikan, dan keadilan."14
Setelah
penulis meneliti Undang-Undang Front Islam Nasionalis pada penjelasan
terakhir dan pidato ketua umumnya, penulis berpendapat bahwa
undang-undang ini menekankan persamaan hak-hak politik antar warga
negara, baik muslim maupun nonmuslim. Berbagai dokumen Front Islam
Nasionalis tidak mengandung isyarat apapun mengenai perjanjian terhadap
ahlu dzimmah atau masalah pajak kepala.
Mengenai
Hizbut-Tahrir, penulis menemui pandangan yang inkonsisten. Kelompok ini
mengungkapkan berbagai program undang-undang negara Islam yang
dirancang para pemimpinnya. Di dalam rancangan itu disebutkan bahwa
konsep-konsep yang mereka canangkan diambil dari Al-Qur'an dan
As-Sunnah.15 Berikut penulis kutipkan beberapa program yang berkaitan dengan topik persamaan hak antara kaum muslimin dan nonmuslim, yaitu:
Pasal
20: Pengontrolan penguasa Islam adalah hak mereka. Merupakan fardhu
kifayah bagi orang-orang Islam dan nonmuslim --yang telah berhak--untuk
mengajukan pengaduan bila melihat ketidakadilan para penguasa atau
menerima perlakuan tidak wajar dari penguasa Islam.
Pasal
103: Setiap warga negara yang telah dewasa dan berakal, baik pria
maupun wanita dan muslim atau nonmuslim, berhak menjadi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Hanya saja, keanggotaan nonmuslim terbatas pada
masalah pengaduan ketidakadilan penguasa atau pemberlakuan penguasa
(atau masyarakat) Islam yang tidak wajar terhadap masyarakat yang
diwakilinya.
Pasal
105: Syura merupakan hak orang-orang Islam saja. Sedangkan mengeluarkan
pendapat merupakan hak semua warga negara, baik muslim maupun
nonmuslim.
Pasal
140: Ahli dzimmi dibebani pembayaran jizyah (pajak kepala). Jizyah
diambil dari pria dewasa selama mereka mampu membayarnya, tidak diambil
dari wanita dan anak-anak.
Pasal
142: Mencukupkan pembayaran pajak biasa yang diperbolehkan syariat
untuk mengisi baitul-mal (kas negara) dari kaum muslimin. Sedangkan
warga nonmuslim tidak dikenai pajak ini secara mutlak dan hanya dikenai
pajak kepala.
Penulis
berpendapat bahwa rancangan undang-undang ini berupaya keras memperluas
peluang kerja sama politik. Hal itu dapat dilihat pada pasal 21 yang
memperbolehkan berdirinya partai politik serta diperbolehkannya wanita
memasuki Majelis Permusyawaratan Rakyat dan melakukan seluruh hak
musyawarah. Akan tetapi, dalam hal ini berbeda dengan peluang yang
diberikan kepada nonmuslim
Penulis
pernah membaca tulisan seorang peneliti muda mengenai
universitas-universitas Islam kontemporer yang dikirimkan kepada
Universitas Islam di Madinah al-Munawarah. Dalam hasil penelitian itu
antara lain dibahas mengenai Hizbut-Tahrir yang memberikan kesempatan
kepada nonmuslim di MPR untuk mengadukan ketidakadilan penguasa muslim.
Sang peneliti tidak menyetujui pemikiran tersebut dengan alasan bahwa
MPR merupakan salah satu bagian penting dari pemerintahan Islam, maka
tidak sah mengangkat orang kafir sebagai anggotanya, karena dapat
terjadi ia memerintah si muslim. Peneliti itu menjelaskan bahwa MPR
bertugas membahas kebijakan-kebijakan pemerintahan Islam. Lalu bagaimana
mungkin rahasia-rahasia majelis diserahkan kepada orang kafir lantaran
dia adalah anggota MPR?16
Undang-undang Iran dan Jami'at Islami Pakistan
Ada dua gerakan Islam di luar Arab yang tak dapat dilupakan, yakni revolusi Islam di Iran dan Jamaah Islam di Pakistan. Penulis berusaha menjelaskan keduanya sebatas tersedianya sumber-sumber yang ada pada penulis.
Ada dua gerakan Islam di luar Arab yang tak dapat dilupakan, yakni revolusi Islam di Iran dan Jamaah Islam di Pakistan. Penulis berusaha menjelaskan keduanya sebatas tersedianya sumber-sumber yang ada pada penulis.
Beberapa pasal Undang-Undang Iran menjelaskan posisi warga nonmuslim, yakni sebagai berikut.17
Pasal
3: Tujuan pemerintah adalah menjamin kebebasan politik dan sosial dalam
batas undang-undang, menghilangkan diskriminasi yang tidak adil, dan
memberikan kesempatan kepada semua warga negara dalam semua sektor,
material maupun immaterial.
Pasal
12: Aliran resmi di Iran adalah Syi'ah Ja'fariyah atau Syi'ah Dua
Belas. Aliran-aliran Islam lain dan mazhab Hanafi, Syafi'i, Maliki,
Hambali, dan Zaidi juga dihargai. Mengikuti aliran-aliran tersebut
--dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam sesuai dengan pemahamannya--
diperbolehkan secara bebas. Aliran-aliran ini memperoleh panduan resmi
dan di bawah pengawasan dalam masalah pendidikan, pengajaran Islam, dan
ahwalusy-syakhshiyyah (bagian dari hukum privat, --pent.), serta hal-hal
yang terkait dengannya, seperti masalah peradilan.
Pasal
13: Orang-orang Iran Zaradesyt, Yahudi, dan Nasrani sebagai kelompok
minoritas agama memperoleh kebebasan melaksanakan ajaran agama
masing-masing dalam lingkup undang-undang. Mereka berhak beramal sesuai
dengan kaidah-kaidah ahwalusy-syakhshiyyah dan ajaran-ajaran agama.
Pasal
14: Merujuk pada ayat Al-Qur'an (yang terjemahannya adalah) sebagai
berikut. "Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil" (al-Mumtahanah: 8). Oleh karena itu,
pemerintah Republik Islam Iran dan kaum muslimin wajib bergaul dengan
kalangan nonmuslim berdasarkan sunnah secara wajar, adil, dan islami.
Kaum nonmuslim harus mendapatkan hak-hak kemanusiaannya. Pasal ini
berlaku bagi mereka yang tidak melakukan aktivitas apa pun yang
berlawanan dengan Islam atau Republik Islam Iran.
Pasal
64: Kelompok Zaradest dan Yahudi, Nasrani Asyuri dan Kaldani, dan
Nasrani Arman di utara dan selatan Iran masing-masing berhak mengangkat
seorang wakil dalam MPR Islam. Jika populasi kelompok minoritas
bertambah, mereka berhak mendapatkan tambahan jatah seorang wakil untuk
setiap 150.000 jiwa setiap sepuluh tahun.
Pasal 67: Pengambilan sumpah wakil rakyat menggunakan Al-Qur'an, sedangkan wakil minoritas dengan Kitab Sucinya masing-masing.18
Dari
undang-undang di atas dan aturan-aturan Republik Islam Iran lainnya,
penulis tidak menemukan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
persamaan hak antar warga negara. Penulis berpendapat bahwa redaksi
undang-undang tersebut memberikan penegasan pada perlindungan terhadap
semua pihak tanpa kecuali. Akan tetapi, penulis melihat kekhususan
undang-undang itu, yakni bahwa kaum nonmuslim tidak dilibatkan dalam
bidang politik, meskipun mereka berhak menjadi anggota MPR. Ini karena
dari 270 anggota MPR hanya ada 4 orang wakil nonmuslim. Jumlah sekecil
itu pun tidak dapat memasuki berbagai panggung politik seperti partai,
parlemen, dan badan legislatif.
Revolusi
Islam di Iran merupakan hal yang fenomenal, sebab, menurut keyakinan
kaum Syi'ah, Republik Islam Iran merupakan negara bermazhab Ja'fari yang
pertama kali didirikan sejak dua belas abad, yakni sejak bersembunyinya
Imam mereka yang ke-12. Selama itu, mazhab Ja'fari tetap survive
meskipun Bani Buwaihi, sebagian raja Persia, dan kaum Safawi berusaha
"melenyapkan mereka" (menerapkan pandangan mazhab ini, admin). Akan
tetapi, pada periode itu, kekuasaan tidak dibangun di atas pundak para
mullah (fuqaha/pakar yurisprudensi Islam) dan konsep Wilayatul-Faqih
(Kepemimpinan Para Fuqaha) belum dielaborasi. Konsep ini baru
dimunculkan pada Revolusi Islam Iran pada 1979.
Karena
dilatarbelakangi oleh keinginan historis untuk mendirikan negara yang
dikuasai para fuqaha, maka konsep-konsep politik Republik Islam Iran
senantiasa terbuka. Mereka tidak keberatan menerima partisipasi
nonmuslim dalam pemerintahan, bahkan dalam teks undang-undang tidak
terdapat persyaratan bahwa perdana menteri atau menteri harus beragama
Islam.
Dalam
penelitian lapangan, penulis menemukan bahwa kekhususan sikap terhadap
nonmuslim ini tidak terbatas pada pemberian kesempatan kepada mereka
untuk terlibat dalam pemerintahan saja, melainkan hingga pada membantu
umat Islam dalam merumuskan kebijakan-kebijakan politik, meskipun jumlah
wakil mereka di MPR hanya tujuh orang.
Maka
peneliti yang menyadari kenyataan ini akan mengkonstatir bahwa kaum
muslim dan nonmuslim saling bekerja sama dengan berlandaskan pada
persamaan hak dalam kehidupan politik dan peradaban seperti yang
direfleksikan oleh realitas Islam kontemporer. Pernah dikatakan bahwa
pemerintah Republik Islam Iran memperlakukan kaum Yahudi dan Baha'i
dengan buruk. Sebenarnya hal tersebut tidak dilakukan karena mereka
Yahudi dan Baha'i, melainkan karena keduanya menentang revolusi Islam
secara langsung maupun tidak langsung. Kalangan nonmuslim lain terbukti
hidup berdampingan secara damai dan wajar dengan masyarakat Islam dan
memberikan kontribusi signifikan dalam kegiatan perdagangan khususnya.
Karenanya,
kita perlu menggarisbawahi bahwa dalam eksperirnen revolusi di Iran,
undang-undang disusun dengan memuat prinsip-prinsip persamaan hak antara
muslim-nonmuslim dalam politik dan peradaban. Undang-undang Republik
Islam Iran memberikan hak suara dan pencalonan diri sebagai anggota MPR
kepada kaum nonmuslim, sebagaimana dikonsepkan pula oleh
kelompok-kelompok Islam lainnya.
Marilah
kita menengok sikap Jami'at Islami Pakistan mengenai topik ini.
Pandangan-pandangan pendiri organisasi ini, Abul A'la al-Maududi,
senantiasa menjadi frame of reference bagi generasi berikutnya,
sebagaimana pengaruh pemikiran Hasan al-Banna terhadap para tokoh
penerusnya di lingkungan al-Ikhwan al-Muslimun.
Sebagai rujukan, penulis menggunakan dua tulisan Abul A'la al-Maududi, yakni Tadwiinud-Dustuuril-Islaami (Penyusunan Undang-undang Islami) yang ditulis pada 1952 dan Huquuqu Ahludz Dzimmahfii ad-Daulah al-Islaamiyyah
(Hak-hak Ahlu Dzimmah di Negara Islam) yang terbit pada 1948 dalam
suasana pembentukan undang-undang negara Pakistan yang baru lahir. Kedua
tulisan ini dipublikasikan dalam bunga rampai tulisan Abul A'la
al-Maududi dengan topik Sistem Politik Negara Islam.19
Abul
A'la al-Maududi mendasarkan pemikirannya pada prinsip, "Kita tidak
menemui fakta pada masa kenabian dan khilafah rasyidah yang menyatakan
bahwa ahlu dzimmah dapat memilih dan menjadi anggota MPR, memilih kepala
pemerintahan negara, qadhi, menteri, gubernur, atau panglima angkatan
bersenjata, dan diperbolehkan menyampaikan pendapat dalam pemilihan
khalifah. Padahal ahlu dzimmah sudah terdapat pada zaman Rasulullah
Saw., bahkan jumlahnya mencapai puluhan juta jiwa di masa kekhilafahan
rasyidah. Seandainya mereka berhak ikut serta dalam urusan-urusan
tersebut, tentu Rasulullah Saw. telah memberikan hak tersebut kepadanya
dan para sahabat setelah periode Nabi Saw. pun akan melakukan hal yang
sama." (hlm. 303)
Abul
A'la al-Maududi berpendapat bahwa undang-undang Islam membagi
masyarakat nonmuslim atas tiga kategori, yaitu: 1. Kelompok yang masuk
dalam naungan negara Islam melalui transaksi perdamaian atau perjanjian.
2. Kelompok yang ditaklukkan dalam pertempuran. 3. Kelompok yang
berintegrasi ke dalam negara Islam tanpa melalui dua jalur di atas.
Ia
menegaskan bahwa Islam menjamin seluruh hak dan kebebasan nonmuslim,
kecuali dalam sebagian hak berpolitik sebagaimana diulas sebelumnya. Ia
berulang-ulang menyatakan, "Orang-orang yang tidak beriman terhadap
prinsip-prinsip Islam tidak berhak mengurus masalah pemerintahan atau
menjadi anggota MPR. Mereka pun tidak dapat memilih tokoh-tokoh calon
wakil rakyat." Akan tetapi ditambahkannya, "Mereka diberi hak-hak
keanggotaan dan suara dalam majelis-majelis lokal, sebab majelis-majelis
ini tidak berurusan langsung dengan sistem kehidupan. Mereka bertugas
mengurus masalah-masalah untuk merealisasikan keperluan-keperluan
lokal." (hlm. 359-360)
Catatan Penutup
Mengakhiri pembahasan ini, penulis mengemukakan beberapa catatan sebagai berikut.
Mengakhiri pembahasan ini, penulis mengemukakan beberapa catatan sebagai berikut.
Pertama,
sesungguhnya kita mengutamakan studi pendahuluan mengenai hubungan
muslim-nonmuslim dalam perspektif keadilan, bukan persamaan hak. Ini
karena keadilan berarti memberikan hak kepada penerimanya secara total
dan proporsional dalam konteks situasi dan kondisi objektif yang
melingkupinya, sedangkan persamaan hak sering diartikan sebagai kesamaan
antara dua pihak baik dalam bentuk maupun isi. Melenyapkan
simbol-simbol persamaan hak antara kelompok mayoritas dan kelompok
minoritas dalam pemerintah, misalnya, bisa dianggap menodai makna
keadilan.
Masyarakat
Islam telah digiring oleh propaganda persamaan hak kepada kondisi tanpa
diskriminasi antara kaum muslimin dan Kristen dalam tugas-tugas yang
berlabel keagamaan atau hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan
(ideologi).
Sebagai
contoh persamaan hak, kita mendengar suara-suara yang menuntut
diperbolehkannya pria Ahli Kitab menikahi kaum muslimah. Argumentasi
yang dibangun adalah bahwa pria muslim diperbolehkan menikahi wanita
Ahli Kitab, maka sebaliknya pun diperbolehkan.
Menurut
pendapat penulis, pemikiran tersebut tidak tepat bila ditinjau dari
perspektif keadilan, sebab seorang muslim yang menikahi wanita Ahli
Kitab, secara syar'i, dituntut untuk menghormati keyakinan sang isteri.
Terjadi
selisih pandangan para fuqaha mengenai masalah ini. Sebagian fuqaha
berpendapat bahwa sebaiknya seorang suami muslim tidak menekan isterinya
yang Ahli Kitab dalam urusan keislaman sehingga tidak dituduh memaksa.
Sebagian lagi mengatakan bahwa suami dituntut menjaga keamanan isterinya
dalam perjalanan menuju ke gereja. Sedangkan sebagian lagi berpendapat
bahwa suami muslim tidak berhak melarang isteri meminum khamar, karena
hal itu diperbolehkan agamanya, meskipun sang suami diperbolehkan
memberikan nasihat kepadanya.
Keadaannya
akan lain bila pria Ahli Kitab menikahi wanita muslim. Ini karena Ahli
Kitab tidak mengakui eksistensi agama Islam termasuk masalah kerasulan
Muhammad Saw. Sangat besar kemungkinannya, mereka akan merusak komitmen
wanita muslim terhadap ajaran agamanya atau bahkan mengeluarkannya dari
Islam! Na'uzu billahi min dzaalik!
Dalam
kondisi tersebut dan kasus-kasus sejenisnya, tesis persamaan hak
menjadi simbol dan parameter yang tidak reliabel, sedangkan keadilan
merupakan parameter yang lebih objektif dan valid.
Kita
berbincang tentang sistem dan klasifikasi, bukan prioritas dan
diskriminasi. Penjelasan tentang fenomena kelompok-kelompok sebaiknya
berangkat dari kesadaran akan konsep ini. Tujuan kita tetap menghormati
seluruh hak dalam bingkai komitmen yang total dengan perspektif keadilan
dan kewajaran.
Kedua,
membedakan syariat dari fikih. Maksud penulis, membedakan antara
ketentuan Al-Qur'an dan As-Sunnah yang bersifat mengikat dengan ijtihad
manusia yang sama sekali tidak mengikat dan selalu disandarkan pada
penggagasnya. Dalam menghadapi fikih, sebaiknya kita mempertimbangkannya
kembali dengan parameter syariat. Bila sejalan dengan teks syariat dan
maksud sebenarnya, maka kita boleh menerimanya, tetapi jika bertentangan
dengan syariat, kita harus menolaknya.
Misalnya,
Al-Qur'an menyatakan bahwa menjaga kemuliaan manusia merupakan salah
satu tema penting dalam ajaran Islam. Islam menjelaskan bahwa kita harus
berlaku baik terhadap seluruh manusia yang tidak sewenang-wenang
terhadap kaum muslimin atau memfitnah Islam. Maka setiap perbincangan
atau ijtihad mengenai nonmuslim harus dikembalikan kepada
parameter-parameter dan aturan-aturan ini. Bila tidak sejalan dengan
parameter-parameter tersebut, berbagai pemikiran itu terbuka untuk
dikritik dan disanggah.
Ketiga,
lapangan ijtihad fikih tentang kedudukan nonmuslim sangat luas. Seorang
peneliti dapat mendalami studinya dengan mempelajari seluruh pandangan
dan hipotesis, baik yang positif maupun yang negatif. Hal itu bukanlah
suatu kelemahan, melainkan pertanda kesuburan fikih Islam dan tradisi
yang tak terbatas.
Keluasan
pandangan itu tidak membuat kita menjadi picik, selama kita bersandar
pada parameter hukum yang berupa teks-teks syariat dan kaidah-kaidah
ushul fikih. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah mengapa dalam
kondisi tertentu lahir tradisi berpikir yang melahirkan ijtihad yang
toleran dan moderat, sedangkan dalam kondisi lain tidak banyak ijtihad
yang dihasilkan, melainkan yang memberatkan dan "keras"?
Penulis
telah mengupas dua penafsiran mengenai ayat Al-Qur'an surat al-Maidah:
51 yang berkaitan dengan hubungan muslim-nonmuslim. Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpinpemimpin(mu)..."
Syekh Muhammad al-Ghazali dan Dr. Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa ayat
tersebut merupakan ajakan untuk tidak bekerja sama dengan orang-orang
nonmuslim yang memusuhi umat Islam.
Sedangkan
Sayyid Quthub berpandangan bahwa ayat tersebut merupakan hukum yang
berlaku umum yang mengajak kaum muslimin memisahkan diri dari
orang-orang Yahudi dan Nasrani. Penafsiran Sayyid Quthub diikuti oleh
gerakan Jamaah Jihad. Penafsiran tersebut juga mencuri perhatian para
pemikir lain, menyebar luas, dan menjadi tesis yang paling banyak
diikuti oleh umat Islam dewasa ini.
Bukankah
kita harus mempelajari situasi-kondisi yang mendorong perlunya
pemisahan tegas antara muslim-nonmuslim dan memutar haluan berpikir ke
arah panggilan sikap yang baik dan saling mencintai antar sesama
manusia?
Bukankah
kita perlu memperluas wilayah kajian agar dapat memahami watak periode
buruk yang pernah dilalui umat Islam dan unsur-unsur negatifnya?
Keempat,
agar kita dapat menempatkan masalah ini secara proporsional, sebaiknya
kita mengingat kembali satu hal, yakni kelompok-kelompok kebangkitan
Islam yang cenderung bersikap keras terhadap nonmuslim berangkat dari
sikap keras pula yang bahkan tak jarang ditujukan kepada sebagian kaum
muslimin sendiri. Kelompok-kelompok itu sendiri yang membangun pemikiran
kejahiliahan masyarakat dan propaganda saling mengkafirkan.
Kerancuan
pola pikir sebagian muslimin terhadap umat Islam lainnya justru tidak
lebih lunak dari sikap mereka terhadap kaum nonmuslim. Buku-buku Islam
yang penulis teliti, isinya hanya menghakimi umat Islam yang tak
sepaham. Bagian inilah yang masih membutuhkan kajian tersendiri.
Penulis
tidak ingin memberikan perhatian khusus terhadap studi ini, sebab
persoalannya terlampau besar. Salah satu sudut yang penulis analisis ini
merupakan bagian dari topik yang sangat luas. Penanganan topik besar
tersebut dan solusinya sebaiknya diteliti oleh pakar politik dan
ilmuan-ilmuan lain.
Titik
pemberangkatan studi yang penulis tawarkan adalah: mengapa para pemuda
Islam tertarik pada tesis-tesis yang dominan dan "keras"? Apakah hal ini
merupakan fenomena fundamentalisme atau fenomena kebenaran?
Kelima,
kepakaran peneliti yang membahas masalah hubungan muslim-nonmuslim
tidaklah memadai kecuali bila ia mengakui urgensi penganalisisan topik
secara lebih luas dan komprehensif, tidak hanya merumuskan hal-hal yang
sudah jelas seperti masalah kewarganegaraan, etnis, dan transaksi ahli
dzimmi.
Melainkan
penelitian itu juga bertujuan menjernihkan khazanah Islam dari berbagai
distorsi dan meninjau kembali sebagian produk ijtihad fikih yang
penulis anggap tidak lebih utama daripada pengungkapan hukum-hukum
syariat dan tujuan-tujuannya (maqaashid). Literatur yang secara spesifik
membahas topik ini adalah buah pikir seorang pakar yurisprudensi Islam,
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, yang bertajuk Ahkaamu Ahluz-Zimmah. Buku
tersebut ditulis dalam situasi Perang Salib dan invasi pasukan tempur
Tartar ke Dunia Islam.
Kita
tidak boleh melupakan kesungguhan dan penelitian para pakar dalam
bidang ini, terutama karya Syekh Muhammad al-Ghazali dan Dr. Yusuf
Qardhawi, Dr. Abdul Karim Zaidan tentang hukum mengenai ahli zimmi dan
orang-orang yang dilindungi, Dr. Muhammad Fathi Utsman mengenai hak-hak
manusia dalam Islam dan seruannya untuk mengadakan pengkajian ulang
dalam bidang fikih khusus tentang nonmuslim, Dr. Shubhi Mahmashani
tentang Islam dan hubungan antar negara, Prof. Ismail Raji al-Faruqi
tentang hak-hak nonmuslim di negara Islam, dan Muhammad Jalal Kasyak
yang menulis buku Khawathirul Muslim fi Mas'alatil-'Aqalliyyat.
Penulis
telah mendeskripsikan berbagai upaya serius di bidang pemikiran untuk
mengungkap masalah persamaan hak antar warga negara. Akan tetapi
kemampuan menggagas ide saja tidaklah cukup, sebab yang penting adalah
bagaimana ide-ide itu dapat diterima. Umat Islampun membutuhkan berbagai
kompetensi lain yang dibutuhkan untuk mencari relevansi antara ide-ide
dan masa depan.(media.isnet)
Wallahu a'lam bish-shawab.
Oleh: Prof. Fahmi Huwaidi